Kenalkan aku Laura, seorang gadis muda dan pemimpi
yang cukup sukses di muka bumi ini. Aku memimpikan banyak hal. Mimpi punya
banyak sahabat sejati. Mimpi punya banyak waktu untuk mereka. Mimpi punya
banyak waktu untuk tersenyum. Mimpi punya banyak waktu bersyukur,
berterimakasih, aku masih bisa bermimpi!
Tentang mimpi-mimpiku itu, ada banyak masa-masa kelam di baliknya. Tapi sudah, lupakan saja. Aku takkan menceritakannya. Karena aku tak pernah bermimpi memiliki banyak waktu untuk mengenang masa-masa kelamku.
Tentang mimpi-mimpiku itu, ada banyak masa-masa kelam di baliknya. Tapi sudah, lupakan saja. Aku takkan menceritakannya. Karena aku tak pernah bermimpi memiliki banyak waktu untuk mengenang masa-masa kelamku.
Pagi ini suasana kampus tak seperti biasanya. Tak
banyak mahasiswa yang duduk-duduk manis di bawah pohon ketapang kembar dekat
tempat parkir itu. Aku berjalan menyusuri koridor kampus yang panjang ini tanpa
seseorang mendampingi, hanya sebaris cerita yang mengiringi setiap langkahku.
“Just..!”
“Apa?”
“Aku cinta kamu!”
“Apa?”
“Aku cinta kamu!”
“APA?!”
Sebuah pengakuan konyolku sehabis ujian semeter 1 dulu. Wajah manis Justin itu mendadak berubah tanpa ekspresi.
Sebuah pengakuan konyolku sehabis ujian semeter 1 dulu. Wajah manis Justin itu mendadak berubah tanpa ekspresi.
Setelah itu tak ada cerita tentang aku dan dirinya.
Kita saling diam dengan gaya masing-masing. Tentang pengakuan itu, tentang
penolakan tanpa penjelasan itu, tentang perubahan itu, tak apa. Justru dari
sana aku belajar banyak hal.
“Kamu masih marah sama aku, Just?”
“Aku tidak pernah marah.”
“Syukurlah. Thanks! Jadi kita masih temenan, kan?”
“Ya.”
Singkat, jelas, dan seperlunya.
Singkat, jelas, dan seperlunya.
Setelah itu keadaan mulai membaik. Justin dan aku
mulai berbicara lagi meski dengan rentang waktu yang tidak lama. Masih ada
tawa, kok. Tentang keadaan yang mulai membaik itu, aku sangat berterimakasih.
Doaku siang dan malam dikabulkan oleh Tuhan. Justin dan aku kini adalah teman.
Tentang apa yang dulu pernah kuungkapkan padanya, aku tak mengharapkannya di
masa sekarang.
Dalam mimpiku, aku dan Justin adalah sepasang kekasih.
Saling melengkapi. Dia dengan senyum manisnya, aku dengan segudang mimpiku. Dan
tentang itu, aku tak mengharapkan itu terjadi, karena pasti sulit untukku untuk
harus selalu memimpikan yang indah tentang itu.
Sekarang aku di semester 3 di sebuah fakultas sastra.
Tugas pertama di minggu pertama semester 3. Bermimpi. Ya! Dosen yang
mengajariku meminta kami semua untuk belajar bermimpi. Karena hidup berawal
dari mimpi. Seperti lagu Bondan & Fade2Black.
“Tentang tugas dari saya ini, silahkan kalian bermimpi,
berimajinasi, berkhayal, saya memberikan nilai A+ pada kalian semua untuk tugas
ini!” setelah itu ia memberi kami acara bebas. Kuliah hari itu hanya setengah
jam. Ini kesempatan untuk kami tidur sepuasnya di rumah. Untuk bermimpi.
Aku berada di depan cermin untuk melihat kenyataan
pada diriku. Aku muda, punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal positif, lalu
untuk apa memperbanyak mimpi? Mau di pajang? Ah. Pajangan semu. Tak ada yang
melirik.
“Dan bahkan sekarng tiba-tiba aku tak ingin bermimpi.
Mungkin kan kudapatkan nilai C untuk tugas mengkhayal ini.” Bergumam di depan
cermin.
Tugas di serahkan besok, seminggu lalu aku sama sekali
tak bermimpi. Mau menyerahkan apa besok? Nyawa? Mimpi!!
“Siapa yang belum mengumpulkan tugas dari saya?” tanya
dosen meninggi. Tak ada satu pun dari kami yang menjawab; saling tuduh.
“Tak ada yang mau mengaku, ya?” semakin meninggi.
“Tak ada yang mau mengaku, ya?” semakin meninggi.
“LAURA!!” bentaknya. “Kemari!” panggilnya.
“Maaf, Pak..” aku pasrah menerima nilai C. Namun dosen
malah tertawa terbahak-bahak sambil menepuk pundakku.
“Bagus-bagus! Kau memang hebat, Laura!” pujinya.
Teman-temanku yang lain bingung dan bertanya-tanya.
“Kalian bodoh!!” bentaknya.
“Mau saja dibodohi. Apa bermimpi mendapat nilai
terbaik selama satu minggu itu bisa membuat kalian benar-benar mendapatkannya?
Harusnya selama seminggu itu kalian berusaha untuk mewujudkan mimpi saya! Mimpi
melihat semua anak didik saya mendapat nilai sempurna!”
Tak ada satu pun yang menjawab, protes, atau apa.
Tak ada satu pun yang menjawab, protes, atau apa.
Tentang pengakuan pada Justin, tentang penolakan tanpa
penjelasan itu, tentang perubahan Justin, tentang apa yang dulu pernah
kuharapkan padanya, tentang tugas dosen, tentang masa-masa kelamku, dan tentang
mimpi-mimpiku, aku belajar banyak hal.
“Aku (masih) bisa bermimpi tentang banyak hal dan aku
(harus) bisa mewujudkan semua itu!”