WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode : DADU SETAN
"SAUDARA WIE, APA YANG TERJADI? APA YANG
KAU LAKUKAN TERHADAPKU?!" TANYA LOAN NIO NIKOUW. TANGAN KIRI MENUTUP PADA
PAKAIAN YANG TERSINGKAP. TANGAN KANAN MERABA KE PUNGGUNG. "DIMANA
PEDANGKU?" TIBA-TIBA ADA SESEORANG MUNCUL DI MULUT GOA. "LOAN NIO.
BANGSAT BERAMBUT GONDRONG ITU BARUSAN HENDAK MEMPERKOSAMU UNTUNG AKU DATANG.
DIA PULA YANG TELAH MENCURI PEDANG NAGA MERAH MILIKMU..."
"SAUDARAWIEI BENAR ...BENAR?!" "BENAR APA NIO?" "KAU
HENDAK MEMPERKOSAKU! KAU MENCURI PEDANG NAGA MERAH!" ‘NIONIO, AKU BELUM
GILA MELAKUKAN HAL BEJAT ITU PASTI BANGSAT MUKA TENGKORAK INI MENGARANG CERITA
MENGUMBAR MULUT FITNAH!" "SAUDARA WIE. AKU TIDAK MENYANGKA BEGITU
BEJAT BUDI PEKERTIMU! AKU MENGIRA KAU SEORANG SAHABAT YANG BISA DIMINTA TOLONG!
TERNYATA KAU IBLIS TERKUTUK!" "NIONIO. DENGAR DULU
KETERANGANKU..."UCAP WIRO."AKU TIDAK BUTUH KETERANGAN. AKU INGIN
MEMBUNUHMU SAAT INI JUGA"
1PENDEKAR 212 Wiro Sableng beberapa kali
mempercepat larinya. Namun nenek rambut kelabu tetap saja terpaut dua tombak di
sebelah depan.
"Luar biasa. Ilmu lari apa yang dimiliki
mahlukjejadian ini. Aku tak mampu mendekati." ucap Wiro dalam hati.
Setelah berlari cukup jauh. di satu jalan
berbatu-batu dan menurun serta dipenuhi pohon cemara hutan, dari arah depan
muncul nenek kedua, kembaran nenek yang tengah diikuti Wiro.
"Hahu ha-hu."
Nenek yang muncul keluarkan ucapan gagu sambil
tangan kiri menunjuk-nunjuk kc jalan berliku-liku di bawah sana.
"Ha-hu ha-hu." Nenek satunya
keluarkan suara sama. Dia memberi tanda pada Wiro lalu ikuti saudara kembarnya.
Wiro segera pula membuntuti dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar Tilu, seorang
nenek sakti yang tempo hari tewas di tangan pembunuh misterius (Baca episode
sebelumnya berjudul "Dadu setan".) Dari nenek itu Wiro malah kebagian
pekerjaan Sebelum mati si nenek minta agar sang pendekar mencari siapa
pembunuhnya.
Makin ke bawah jalan yang ditempuh semakin
terjal. Batu-batu besar menghadang di setiap sudut Dua nenek kembar enak saja
melompat, melayang dan melesat Jubah kuning mereka tampak berkibar-kibar ditiup
angin dan keluarkan suara berkasiuran saking cepatnya mereka berkelebat Wiro
ketinggalan jauh di belakang. Dia hendak berteriak agar dua nenek jangan lari
terlalu cepat Namun urungkan niat karena tiba-tiba dia mendengar sayup-sayup
suara tiupan seruling.
Dua nenek kembar saat itu sudah lebih dahulu
hentikan lari dan berlindung dibalik satu batu cadas besar. Begitu Wiro
mendekat keduanya menunjuk ke arah kelaunan. Mulut mereka hendak keluarkan
suara ha-hu ha-hu tapi Wiro cepat memberi tanda agar dua nenek ini jangan
bersuara.
DI arah yang ditunjuk, sekitar dua puluh tombak
di bawah sana terdapat sebuah situ atau telaga yang airnya sangat jernih,
memiliki dua warna. Yaitu biru dan hijau. Warna Ini bukan lain adalah pantulan
dari pepohonan serta tanam-tanaman yang tumbuh di sekeliling telaga.
Di tepi telaga sebelah timur, tepat arah
jatuhnya cahaya sang surya siang hari itu, terapung sebuah rakit bambu. Di atas
rakit Ini ada bagian yang menyerupai kursi panjang. Di atas kursi bambu inilah
tampak duduk seorang perempuan berpakaian merah berkembang kecil-kecil biru dan
kuning. Asyik meniup seruling berwarna putih dan dari jauh kelihatan berkilauan
terkena cahaya matahari. Karena agak jauh Wiro tidak dapat memperhatikan jelas,
apalagi melihat wajah orang. Selain Itu di bawah topi biru yang dikenakan wajah
perempuan ini tertutup untaian manik-manik merah yang menjulai sampai ke bawah
dagu. DI punggungnya tergantung sebilah pedang bersarung merah dan selembar
papan seluncur.
Tiupan seruling perempuan berbaju merah di atas
rakit mengalun lembut namun sanggup menimbul kan buiatan-bulatan riok tak
berkoputusan di permukaan air telaga serta mendatangkan getaran halus pada
aliran darah Pendekar 212. Pengaruh tiupan seruling membuat dua nenek kembar
saling pandang dan mengusap muka berulang kali.
"Perempuan baju merah itu memiliki hawa
sakti dan tenaga dalam tinggi..." ucap Wiro perlahan.
Salah seorang nenek kembar menggerak-gerakkan
tangan kanan ke atas ka bawah sementara tangan kiri mengacungkan jempol.
"Ya, ya. Aku mengerti. Kau hendak
mengatakan orang Itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat" kata
Wiro pula. "Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan turun menemui perempuan
itu." Wiro dongakkan kepala, menarik nafas dalam-dalam melalui hidung.
Saat itu dia mencium bau harum semerbak. Rasa-rasanya dia pernah mencium bau
harum seperti ini sebelumnya. Wiro memandang pada dua nenek kembar.
"Aku yakin dia yang telah menolong diriku
sewaktu dilibat pohon beringin jejadian ujud sialan Ki Beringin Reksal Tubuhnya
menebar bau harum yang sama.
Dua nenek sama-sama mengangguk. Yang satu
memberi tanda dengan gerakan tangan agar Wiro berlaku hati-hati. Baru saja Wiro
keluar dari gundukan batu cadas, suara tiupan seruling mendadak berhenti. Wiro
tahan gerakannya. Mata menatap tajam ke arah orang di atas rakit. Si baju merah
Ini sama sekali tidak menggerakkan tubuh atau kepala.
"Dia tidak memandang berkeliling. Tapi
dari tubuh dan kepala yang tidak bergerak sama sekali agaknya dia sudah tahu
aku ada di sini." Pikir Wiro. Sang pendekar menunggu.
Perempuan di atas rakit kembali meniup
sulingnya. Wiro cepat berkelebat di antara batu-batu besar hingga akhirnya
sampai di tepi sebelah selatan telaga. Dari sini dia segera hendak lari ke arah
timur. Namun lagi-lagi gerakan pendekar 212 tertahan. Kali ini bukan oleh
gerak-gerik perempuan di atas rakit namun karena berkelebatnya satu bayangan
biru dari balik sebuah batu besar antara tempat dia berada dan rakit di tepi
telaga. Wiro cepat menyelinap ke balik semak belukar lebat
"Loan Nio! Akhirnya kutemui juga kau!"
Satu suara seruan menggelegar di seantero telaga.
Menatap ke arah timur Wiro melihat seorang
berpakaian ringkas serba biru berdiri di tepi telaga, hanya terpisah satu
tombak dengan rakit. Hebatnya, orang berambut hitam lebat panjang dan dijalin
ke belakang ini memiliki wajah berbentuk tengkorak. Di balik punggungnya
tersembul gagang sebilah pedang. Dari bentuk pakaian, Wiro mengetahui bahwa
siapapun adanya dia adalah seorang pendekar silat berasal dari daratan
Tiongkok.
Perempuan di atas rakit tampak terkejut Tapi
agaknya dia bisa menguasai diri. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Suling
perak diselipkan pada selendang yang terbelit di pinggangnya yang ramping.
Ingin melihat lebih jelas dan juga ingin tahu
apa yang dibicarakan kedua orang itu, Wiro bergerak mendekat. Namun dia hanya
bisa garuk kepala karena dua orang tersebut bicara dalam bahasa yang tidak
dimengertinya. Bahasa Tionggoan.
"Ong Cun. bagaimana kau bisa berada di
tempat ini?" Perempuan di atas rakit bertanya.
‘Loan Nio, aku sudah lama menyirap kabar bahwa
kau akan berangkat ke tanah Jawa ini. Setelah mencari tahu dari teman-teman
pulau dan kota mana yang kau tuju, aku berangkat mendahului." Orang
bermuka tengkorak menjawab.
"Kau pergi sejauh ini. Apakah tidak hanya
membuang waktu percuma?"
"Aku sudah berbulat tekad bahkan
bersumpah. Aku akan mencarimu sampai dapat. Aku akan mengikutimu kemana kau
pergi."
"Untuk apa?" tanya perempuan yang
dipanggil dengan nama Loan Nio dan bukan lain adalah seorang paderi perempuan
yang di Tionggoan selatan dikenal dengan nama Kiang Loan Nio Nikouw.
"Loan Nio, jangan kau berkura-kura dalam
perahu. Berpura-pura tidak tahu. Tiga tahun lebih aku mengikutimu. Aku tidak
akan berhenti mengejarmu sebelum kau menyatakan diri mau menerima tali
perjodohan denganku."
Habis berkata begitu lelaki berpakaian biru
yang rambutnya dikepang dan berwajah tengkorak ini melompat ke atas rakit.
Gerakkannya enteng, tubuhnya seringan kapas. Rakit yang dijejaki tidak
bergoyang barang sedikitpun.
"Ong Cun, kau sudah tahu. Aku sudah
menjadi seorang paderi.
Jangan..."
"Loan Nio, itu dalihmu dari dulu. Lalu
apakah seorang Paderi tidak boleh nikah?"
"Memang tidak ada larangan. Tapi aku telah
memutuskan dan memilih menjauhi segala urusan keduniaan."
Liok Ong Cun tertawa bergelak.
"Kau berdusta. Kau menipu dirimu sendiri.
Kedatanganmu kemari jelas-jelas adalah untuk urusan dunia. Apa kau kira aku
tidak tahu sangkut pautmu dengan benda yang kau cari? Dua buah dadu yang oleh
orang-orang di daratan Tiongkok sudah dianggap sebagai dadu setan dan harus
dimusnahkan? Apa kau kira aku tidak tahu kau telah memperalat beberapa tokoh
kang ouw. Dan semua mereka telah menemui kematian secara sia-sial Bun Pek Cuan,
Siauw Chie, Hek Chiu Mo!"
Walau agak kaget bahwa orang dihadapannya tahu
banyak tentang perjalanannya ke tanah Jawa namun paderi perempuan itu bersikap
tenang dan menjawab.
"Aku hanya menjalankan tugas dari Wakil
Ketua Siauw Lim-pai."
"Aku tahu tugas itu. Tapi sambil menyelam
kau sekaligus minum air. Sambil menjalankan tugas kau kesini adalah untuk
mencari kekasihmu di masa kanak-kanak dulu. Bukan begitu?! Jangan kau kira aku
tidak tahu riwayat dirimu sejak kau baru lahir sampai saat ini!"
Wajah paderi perempuan yang tertutup di balik
cadar untaian manik-manik tampak bersemu kemerahan.
"Ong Cun, aku tidak mau bicara lagi
denganmu. Pergilah. Aku ingin sendirian di tempat ini."
"Menunggu kedatangan kekasihmu?!"
ucap LiokOng Cun penuh mengejek. "Loan Nio, dengar baik-baik. Aku tidak
akan bergerak setapakpun. Sebelum kau menerima ikatan perjodohan!"
"Ong Cun. kau juga denga rbaik-baik dan
masukkan ke dalam otakmu!" jawab Loan Nio Nikow jadi sengit "Antara
kita selama ini tidak ada hubungan apa-apa. Antara kita tidak akan ada hubungan
apapun di masa mendatang!"
Wajah tengkorak Uok Ong Cun mengelam kaku.
"Dari pada teganya kau berkata begitu, lebih baik kau bunuh saja diriku
saat ini juga !"
"Srettt"
Liok Ong Cun yang di Tionggoan dijuluki Ko Lo
Khek alias Pendekar Muka Tengkorak cabut pedang yang tergantung di punggung,
jatuhkan diri setengah berlutut, pedang yang memancarkan sinar hijau diletakkan
di atas rakit, kepala diulur, siap untuk dipenggal, pasrah menerima kematian!
Akan tetapi paderi perempuan itu tidak bergerak
dari tempatnya berdiri. Dengan suara perlahan dia berkata.
"Ong Cun, kau telah sesat terlalu jauh.
Bukan aku sendiri gadis di dunia ini. Kau bisa mencari yang lain. Yang lebih
baik dari diriku. Sarungkan pedangmu kembali. Pedang sakti seperti Ceng Coa
Kiam milikmu itu tidak boleh dipakai sembarangan (Ceng Coa Kiam = Pedang Ular
Hijau).
"Aku hanya menginginkan dirimu seorang.
Kau tahu hal itu Loan Nio. Mengapa kau begitu angkuh tidak mau menerima diriku?
Mengapa hatimu sekeras batu? Mengapa kau seolah tidak punya perasaan sama
sekali!" Liok Ong Cun masih tetap dalam keadaan setengah berlutut dan
kepala dimajukan.
"Sudah, aku tidak mau bicara lagi. Aku
sarankan agar kau memencilkan diri di satu tempat Bertapa atau bersemadi.
Semoga kau diberi kesadaran oleh Thian."
(Thian=Tuhan)
"Loan Nio, kita sama-sama kembali saja ke
Tionggoan. Mengapa membuang waktu di negeri orang."
"Ong Cun, kau tahu, aku ada urusan di
negeri ini. Jika kau Ingin pulang, pulanglah duluan. Kurasakan itu lebih baik
bagimu..."
"Loan Nio, jika kau tetap tidak mau
memberi jalan dan juga tidak mau menghabisi diriku maka jangan salahkan kalau
aku berbuat nekat Aku merasa lebih baik kita mati bersama saja!"
Selesai keluarkan ucapan Pendekar Muka
Tengkorak alias Liok Ong Cun ambil pedang hijau yang tergeletak di atas rakit
bambu. Lalu didahului satu teriakan dahsyat dia kiblatkan pedang demikian rupa
hingga menyambar deras di depan rumbai manik-manik yang menjadi cadar Kiang
Loan Nio Nikouw. Jelas yang diincar adalah kepala atau leher sang Nikouw dan
jelas pula dia benar-benar hendak menghabisi paderi perempuan yang sangat
dicintainya itu.
"Ong Cun! Apa yang kau lakukan ini? Apa
kau sudah gila?!"
Loan Nio Nikouw cepat cabut seruting perak yang
terselip di pinggang.
"Tringg!"
Terdengar suara berdering ketika mata pedang
hijau saling beradu dengan suling perak. Bunga api memercik hijaudan pubh
berkilau. Kiang Loan Nio Nikouw merasa suling perak dan tangan kanannya
bergetar. Walau menyadari suling itu bukan tandingan pedang sakti Ceng Coa Kiam
milik lawan, namun dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh tenaga dalam
serta gerakan yang sangat cepat paderi perempuan itu masih sanggup menghadapi
gempuran gencar Liok Ong Cun, malah dua kakinya tidak bergeser sedikitpun dari
tempat injakan semula! Ini menjadi bukti bahwa sebenarnya tingkat kepandaian
sang paderi berada di atas orang yang nekad hendak membunuhnya.
"Loan Nio! Aku memang sudah gila!
Tergila-gila padamu! Aku akan membunuhmu. Setelah itu aku akan bunuh diri!
Tidak berjodoh di dunia tidak jadi apa, tapi di alam akhirat kita bisa
bersatu!"2Makin sulit bagi Liok Ong Cun menembus pertahanan lawan yang
hanya mengandalkan sebuah suling perak, semakin beringas lelaki muka tengkorak
ini menghujani sang paderi dengan bacokan, tusukan serta babatan pedang.
Setelah serangan menghabisi jurus ke sembilan dan tidak menghasilkan apa-apa,
maka didahului satu teriakan dahsyat Liok Ong Cun kiblatkan pedang Ceng Coa
Kiam dalam jurus andalannya bernama Thian Yau Te Soan atau Langit Goyang Bumi
Berputar. Loan Nio Nikouw melihat pedang di tangan Ong Cun menggeletar seperti
ular melesat. Dua kakinya yang menginjak lantai rakit terasa bergoyang
kesemutan sementara di sebelah atas kepalanya terasa pening.
"Breett!" Ujung pedang berhasil menyambar bahu kiri baju merah Loan
Nio Nikouw hingga paderi ini terpekik dan untuk pertama kalinya dia melompat di
atas rakit lalu melesat ke daratan. Dengan sigap Ong Cun mengejar. Pedang Ceng
Coa Kiam kembali menggempur. Kali ini dalam jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi
Melengkung Ke Bumi Pedang sakti di tangan Liok Ong Cun menderu deras dan
membuat cahaya hijau setengah lingkaran. Benar-benar laksana pelangi jatuh ke
bumi sangat berbahaya bagi keselamatan Loan Nio Nikouw yang saat itu masih
mengandalkan suling perak dalam menghadapi lawan. Sebenarnya untuk melindungi
diri paderi ini ingin mencabut pedang di punggung. Namun diamerasa khawatir. Pedang
Naga Merah bukan senjata sembarangan. Sekali keluar dari sarungnya Liok Ong Cun
bisa celaka.
Khawatir si baju merah akan mendapat celaka,
Wiro tidak tunggu lebih lama. Namun sebelum dia melesat dua nenek kembar Eyang
Sepuh Kembar Tilu mendahului bergerak. Keduanya memberi isyarat pada Wiro
dengan gerakan tangan mereka yang akan menolong paderi perempuan itu.
Selesai memberi isyarat dua nenek melesat ke
udara. Di depan sana tahu-tahu Liok Ong Cun merasakan dua bahunya ditahan dan
ditekan orang lalu tubuhnya tertarik ke belakang hampir terjengkang hingga
serangan Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi hanya menderu membabat
udara kosong. Saat itu Loan Nio Nikouw yang tengah berpikir-pikir apakah akan
mencabut pedang sakti atau tidak tampak terkejut melihat kemunculan dua nenek
kembar aneh yang menelikung Liok Ong Cun dari belakang.
"Bangsat rendah! Siapa berani berlaku
kurang ajar"
Liok Ong Cun berteriak marah dan hantamkan dua
sikut tangannya ke belakang.
"Bukk! Bukk!"
"Ha-hu Ha-hu!"
Dua nenek lepaskan cekalan. Dilabrak sikutan
keras tadi keduanya seperti tidak merasakan padahal sikut kiri kanan Liok Ong
Cun mendarat di tubuh mereka dengan telak. Jangankan tubuh manusia, tembokpun
bisa jebol. Liok Ong Cun tidak tahu kalau yang jadi lawannya saat itu adalah
dua nenek kembar jejadian. Begitu cekalan pada bahunya terlepas Pendekar
Tengkorak segera berbalik dan kiblatkan Ceng Coa Kiam dalam jurus Cia Yan Hoan
Sim atau Burung Walet membalik Diri. Pedang ular hijau membabat di udara. Dua
nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, cepat selamatkan diri dengan melompat ke
atas namun ujung pedang masih sempat membabat robek ujung jubah kuning nenek
kembar sebelah kiril
Liok Ong Cun tak habis pikir siapa adanya dua
nenek yang membokong dari belakang itu. Kawan-kawan baru atau kaki tangan Loan
Nio?
"Ha-hu ha-hu!"
Dua nenek tampak marah. Terutama yang jubahnya
robek. Keduanya menggerung keras lalu sama-sama dorongkan dua tangan ke bawah.
"Wuut! Wuut!"
"Wurrl Byaarr!"
Empat gelombang angin menghantam ke bawah.
Tanah di tepi telaga terbongkar, air di pingir telaga muncrat ke atas. Liok Ong
cun berteriak keras. Pandangannya tertutup oleh hamburan tanah dan cipratan air
telaga. Dalam keadaan seperti itu dia merasa empat tangan bergerak di seputar
tubuhnya sebelah atas. Lalu!
"Breett ..Ibreet!..Breettt!"
Terdengar suara robekan pakaian berulang kali.
"Kurang ajar! Apa yang kalian lakukanl
teriak Liok Ong Cun. Pedang dibabatkan ke atas, ditusukan ke depan, lalu
dibacokan ke samping. Namun dia hanya menghantam tempat kosong. Sementara di
lain kejap dia merasa tubuhnya didorong keras ke depan hingga terjerembab di
tanah, belum sempat bergerak bangkit, dia merasa celana birunya diloloskan
orang!"
"Ha-hu... ha-hu! Hik... hik,.. hik!"
Begitu cipratan air telaga dan hamburan tanah
lenyap. Liok Ong Cun berteriak kaget dan juga marahi Dia dapatkan dirinya dalam
keadaan polos, hanya tinggal mengenakan celana dalam putih! Dihadapannya dua
nenek kembar berjubah kuning tertawa ha-hi ha-hi sambil menunjuk-nunjuk ke arah
bagian bawah perut si muka tengkorak.
‘Tua bangka setan alas!" maki Liok Ong Cun
dalam bahasa Cina yang tentu saja tidak dimengerti dua nenek. "Kucincang
kalian!"
Liok Ong Cun melompat sambil ayunkan pedang
Ceng Coa Kiam. Pedang bergeletar hebat Dua nenek melihat seperti ada setengah
lusin ular menyerang ke arah mereka!
"Ha-hu Ha-hu" Nenek di sebelah kanan
kibaskan tangan ke atas menangkis serangan lawan sementara tangan kanannya
menunjuk-nunjuk ke arah celana kolor yang masih tersisa di tubuh Liok Ong Cun. Nenek
satunya yang mengerti maksud kawannya segera jatuhkan diri ke tanah, dua tangan
menyambar ke arah kolor putih.
Sadar apa yang hendak dilakukan orang, dirinya
akan ditelanjangi dengan cepat Liok Ong Cun jatuhkan diri ke tanah, sambar
sarung pedang yang tadi jatuh bersama robekan baju lalu gelindingkan tubuh
menjauh setelah sebelumnya kirim satu tendangan yang tidak mengenai sasaran.
Tua bangka kurang ajar! Kalian akan menerima
balasanku!" Liok Ong Cun memandang berkeliling mencari Loan Nio Nikouw. Tapi
paderi ini sudah sembunyi di balik sebuah pohon besar karena jengah melihat
keadaan Liok Ong Cun yang nyaris bugil!
"Loan Nio! Jika aku tidak bisa mendapatkan
dirimu, jika aku tidak bisa menghabisi dirimu! Aku akan membunuh semua lelaki
yang berani mendekatimu!"
Habis berkata begitu sambil pegangi kolornya
yang kedodoran awut-awutan Liok Ong Cun tinggalkan telaga sambil mulutnya
memaki panjang pendek.
‘Ha-hu ha-hu! Hik...hik...hik!"
Dua nenek kembar tertawa terpingkal-pingkal
lalu lari ke balik semak belukar menemui Wiro. Yang satu menunjuk-nunjuk ke
arah pohon besar.
"Aku tahu, gadis berpakaian merah ada di
balik pohon itu. Ayo kita menemuinya ke sana."
Wiro dan dua nenek lantas berkelebat ke balik
pohon besar. Loan Nio Nikouw agak terkejut ketika dapatkan dirinya didatangi
dan berhadapan dengan si pemuda gondrong serta dua nenek kembar. Namun sadar
kalau dua nenek itu tadi telah menolongnya walau dia sebenarnya sudah siap
keluarkan pedang Ang Liong Kiam yang akan sanggup menghadapi gempuran lawan, sang
Nikouw cepat menjura dalam-dalam di hadapan dua nenek.
"Terima kasih. Orang tua berdua telah
menolong saya. Mengapa Melakukan itu?
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek dan juga
Wiro sama-sama terkejut Walau ucapannya tidak fasih betul dan bahasanya agak
kaku namun ternyata gadis berpakaian merah ini bisa bicara bahasa setempat.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala beberapa kali.
"Nona, kami yakin kau bukan orang sini.
Kalau tidak salah menduga kau adalah orang dari negeri seberang, daratan
Tiongkok. Menakjubkan kau bisa bahasa kami." Wiro berkata sambil matanya
coba mengintai ke balik untaian tirai manik-manik yang menutupi wajah orang.
Tapi untaian manik-manik itu sangat rapat hingga matanya tidak dapat menembus.
Dia hendak terapkan ilmmenembus pandang tapi tidak bisa. Aneh ! Apakah orang
ini memiliki hawa sakti yang punya daya tolak luar biasa?
"Tidak ada hal menakjubkan. Lagi kecil
sampai usia tujuh tahun saya tinggal di sini. DI satu kota bernama
Semarang..."
"Ah, begitu?" ujar Wiro.
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar
menimbrung.
Di balik cadar manik si baju merah tersenyum
lalu bertanya pada Wiro.
"Dua nenek hebat Ini, Apakah dia
pellharaanmu. Naluri saya mengatakan dia bukan manusia serupa kita. Apakah dia
sebangsa jin yang saya dengar sangat banyak keberadaannya dinegeri inl?"
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek
goyang-goyangkan tangan tapi dengan wajah tersenyum.
"Mereka sahabatku. Mereka baik terhadap
siapa saja. Mereka kelihatan sangat senang mengenalmu."
"Terima kasih, terima kasih." Loan
Nio Nikouw menjura.
"Saya rasa dua kawanmu Ini agak
keterlaluan mempermalukan orang tadi sampai bugil begitu rupa..."
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek membuat
gerakan tangan berulang kali.
"Apa yang hendak dikatakan dua sahabatmu
Itu?" tanya si baju merah.
"Mereka ingin mengatakan, kalau tidak
ditelanjangi orang Itu tidak akan mau angkat kaki dari sini."
Loan Nio Nikouw tertawa.
"Cerdik juga dua nenek kembar Itu. Membuat
lawan kabur tanpa mencederai..."
"Mereka masih berbaik hati. Kalau sampai
kolor orang itu ikut dicopot, wah..." Wiro dan dua nenek tertawa
gelak-gelak.
Dua nenek balas monjura lalu tertawa ha-ho
hi-hil. Yang satu sambil memegang lengan kembarannya mengacungkan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanan lalu tangan dijalankan ke kiri.
"Kalian mau pergi? Silahkan saja Aku juga
berterima kasih kalian telah menolong Nona ini." Kata Wiro yang mengerti
maksud isyarat si nenek.
Dua nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, yang
satu kedip-kedipkan mata, yang satu lagi runcingkan bibir lalu digerak-gerakkan
hingga mengeluarkan suara seperti orang mengecup. Kemudian sambil tertawa ha-ha
hl-hi keduanya tinggalkan tempat Itu dan lenyap dalam sekejapan mata.
"Luar biasa Imu kesaktian mereka,"
memuji Loan Nio Nikouw.
"Nona, bagaimana kau jauh-jauh dari daratan
Tiongkok bisa sampai di sini. Lalu siapa pula lelaki muka tengkorak tadi?"
"Jangan panggil saya nona. Panggil saya
Loan Nio Nikouw. Saya seorang paderi."
"Ah..." Wiro kembali garuk kepala.
Tidak menyangka kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang paderi perempuan.
Walau belum melihat wajah, namun dari raut tubuh serta suara Wiro merasa pasti
si paderi berbaju merah ini seorang gadis remaja. Masih begini muda. sudah jadi
paderi.
"Satu kehormatan besar bisa berkenalan
dongan seorang paderi. Lidah saya agak susah menyebut nama paderi. Apa boleh
saya memanggil paderi dengan sebutan Nionio saja?"
Loan Nio Nikouw terdiam sejenak Lalu tertawa
lepas.
"Seumur hidup belum pernah orang memanggil
saya Nionio. Itu nama punya lucu. Tapi enak juga didengar." Kembali paderi
itu tertawa.
"Nionio, lelaki muka tengkorak tadi, aku
lihat dia sangat beringas ingin membunuhmu. Apakah kau dan dia memang saling
bermusuhan?"
"Ini soal sangat pribadl. Saya tidak akan
menceritakan sebelum tahu siapa dirimu adanya." Jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro menjawab sambil menggaruk kepala.
"Namaku Wiro."
‘Wiro?" Loan Nio Nikouw mengingat-ingat,
lalu di balik tirai manik-manik wajahnya menunjukkan keterkejutan. Kakinya
malah tersurut setu langkah.
"Ada apa? Apakah namaku satu hal yang
menakutkan bagimu?" tanya pendekar 212.
"Seorang tokoh perguruan di Tionggoan
pernah memberi tahu tentang dirimu. Kau dikatakan sebagai seseorang yang punya
She Wie dan nama Lo Sab Leng'
Karuan saja Wiro jadi tertawa gelak-gelak
mendengar namanya disebut seperti nama orang Cina.
"Lebih lanjut tokoh itu minta agar saya
mencarimu dalam menyelesaikan semua urusan di negeri ini Saya seperti menerima
satu berkah besar. Belum mencari orangnya sudah datang sendiri."
"Nionio, siapa gerangan tokoh yang kau maksudkan
itu?
"Dia Wakil Ketua perguruan besar Siauw
Lim. Katanya beberapa waktu lalu kau pernah berada di Tionggoan."
"Luar biasa Aku sungguh mendapat
kehormatan sangat besar. Namun aku tidak bisa mengatakan apakah aku punya
kemampuan untuk membantumu." Kata Pendekar 212 pula.
"Paderi Nionio, sekarang apa kau sudah mau
menerangkan sangkut paut silang sengketa dirimu dengan lelaki muka tengkorak
tadi?"
"Lelaki itu bernama Liok Ong Cun. Saya
mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Sejak kami sama-sama jadi murid Siauw
Lim. Dia pernah berulang kali bilang bahwa dia mencintai saya dan ingin
mengambil saya jadi istri. Saya tidak begitu perduli semua dia punya ucapan dan
keinginan. Saya menganggap dia tidak lebih dan seorang kakak seperguruan.
Kemudian saya meninggalkan Siauw Lim dan memutuskan jadi paderi. Dia terus
mengikuti kemana saya pergi. Bahkan sampai kesini. Tadi dia berlaku nekad mau
bunuh saya. Kalau saya mati dia lantas akan bunuh diri.'
"Nionio. ucapannya mungkin saja hanya
tiupan untuk meluluskan permintaannya. Tapi satu hal, kau harus berhati-hati.
Cinta yang berubah jadi kebencian bisa menimbulkan dendam amat
mengerikan."
Kiang Loan Nio Nikouw terdiam Dalam dirinya dia
menyadari apa yang dikatakan pemuda gondrong yang baru dikenalnya itu benar adanya
dan bisa menjadi kenyataan. Malah tadi dia telah menyaksikan sendiri kenekatan
Liok Ong Cun."Tadi dia mengancam akan membunuh siapa saja saja laki-laki
yang berani mendekati diriku."
"Berarti termasuk aku," kata Wiro
sambii garuk kepala "Nionio, aku lihat Liok Ong Cun menutupi wajahnya
dengan topeng tengkorak..."
"Dia pernah bersumpah tidak akan melepas
topeng itu sebelum saya bersedia jadi istrinya."
"Apa kau juga akan menceritakan tujuan
perjalananmu ke tanah Jawa ini? Kau tahu. kedatanganmu di tanah Jawa pada saat
suasana di kawasan barat Ini sedang tidak aman. Pembunuhan penuh misteri
terjadi dimana-mana. Diantara para korban adalah beberapa orang dari daratan
Tiongkok."
"Saya sudah tahu..." kata paderi
perempuan itu.
"Apa orang-orang itu ada sangkut pautnya
dengan dirimu?"
"Semua mereka yang tewas itu adalah orang
suruhan dan kepercayaan saya."
Wiro tak menyangka dan jadi ternganga mendengar
ucapan sang paderi
Loan Nio Nikouw lanjutkan ucapan. "Saya
harus menyelidiki siapa pelaku pembunuh orang-orang itu."
"Itu bukan pekerjaan mudah. Bisa-bisa
membahayakan keselamatan dirimu sendiri, Nionio."
"Saya tahu. Tapi itu sudah menjadi
kewajiban saya sebagai murid Siauw Lim..."
"Jadi perguruan Siauw Lim yang memberikan
tugas padamu?"
Loan Nio Nikouw anggukan kepala.
"Masih ada satu tugas lain yang harus saya
lakukan. Saya tidak tahu harus memulai dari mana walau ada beberapa petunjuk
yang bisa dipergunakan untuk menyelidik."
"Tugas apa?" Wiro bertanya ingin
tahu. Semula dia menyangka paderi perempuan itu tidak akan memberi tahu.
Ternyata Nionio Nikouw malah bercerita.
"Saya ditugaskan untuk menemukan dan
membawa pulang ke Siauw Lim dua buah benda mustika berupa sepasang dadu dari
gading, dulunya dadu ini adalah milik seorang keturunan Dinasti Ming. Karena
dua dadu telah disalah gunakan dan menimbulkan malapetaka dimana-mana maka Raja
meminta Siauw Lim untuk menyimpannya secara rahasia. Namun sekitar tiga tahun
silam dua buah dadu itu lenyap dari tempat penyimpanan. Walau Siauw Lim geger
namun berita tidak sampai bocor ke luar. Dua buah dadu berpindah dari satu
tangan ke tangan lain. Karena bencana yang ditimbulkannya dua buah dadu itu
disebut dadu setan. Kabarnya dua buah dadu itu sekarang berada di tanah Jawa
ini. Orang-orang suruhan saya mungkin telah berhasil melacak keberadaan dua
buah dadu itu. Namun mereka keburu menemui ajal sebelum mendapatkanya.Saat inl
saya seperti menghadapi jalan buntu. Ada satu kekuatan besar di negeri Ini yang
tidak Ingin dua buah dadu kembali ke Tionggoan."
Wiro Ingat pertemuannya beberapa waktu lalu
dengan Eyang Sepuh Kambaran Tilu. Sebelum meregang nyawa nenek yang punya dua
kembaran jejadian Ini meminta agar Wiro menolong mencari siapa pembunuhnya dan
mendapatkan kembali dua buah dadu Wiro juga ingat cerita perajurit Jumena yang
ditemuinya di sebuah Jurang di daerah perbatasan. Saat Itu Jumana menceritakan
tentang dua buah dadu yang menjadi sebab kematian Pengemis Muka Bopeng di
tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu yang menyaru sebagal Raden Kumatesakti (Baca
Episode sebelumnya berjudul "Dadu Setan")
"Dua buah dadu, bisa menimbulkan
malapetaka. Sungguh luar biasa. Nionio, apakah dua buah dadu Itu merupakan
senjata mustika hingga diperebutkan orang, Sampai-sampal mengorbankan
nyawa?"
"Dua buah dadu Itu memang merupakan
senjata mustika atau senjata rahasia. Di Tionggoan kami menyebutnya piauw.
Bilamana dipakai untuk menyerang lawan, setelah lawan menemui ajal, dadu akan
berbalik kembali pada pemiliknya.'
"Hebat" ucap Wiro kagum.
"Namun bukan itu yang merisaukan para
tetua di Siauw Lim. Dua buah dadu Itu blaa dipergunakan untuk mengeruk kekayaan
orang lain. Harta setlnggl gunungpun bisa ludas."
"Bagaimana mungkin?" Wiro setengah
tak percaya.
"Melalui judi. Orang yang memiliki dadu
bisa mengatur angka dadu yang akan keluar hanya dengan menyebut dalam hati
serta memperhatikan dengan mata."
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk-angguk.
Dari balik tirai manik-manik yang menutupi
wajahnya, Loan Nio Nikouw perhatikan wajah Pendekar 212. Dalam hati paderi
perempuan Ini berkata. "Aku menduga, orang ini mengetahui sesuatu. Tapi
dia tidak mau bicara. Apakah aku memang bisa mempercayainya seperti yang
dikatakan Wakil Ketua Siauw Lim? Orang bisa saja berubah. Dulu dia orang baik,
sekarang mungkin sudah jadi jahat Mungkin pula dia ikut terlibat dengan urusan
dadu setan itu. Berarti bisa jadi dia yang membunuh Bun Pek Cuan, Siauw Cie dan
Hek Chiu Mo. Apa yang harus aku lakukan. Padahal masih ada satu urusan penting
menyangkut pedang mustika milikku dengan senjata sakti konon berupa kapak yang
menjadi miliknya. Tapi saat ini aku tidak melihat dia mombekal senjata
itu."
"Saudara Wie"
Wiro tersenyum mendengar dirinya dipanggil
seperti itu.
"Apa yang saat ini ada dalam
pikiranmu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Nionio, aku pasti tewas ketika melawan
manusia pohon bernama Ki Beringin Reksa itu kalau kau tidak menolongku."
‘Bagaimana kau bisa berkata bahwa aku yang
menolongmu. Padahal kita baru saja kali ini bertemu."
Wiro tertawa. "Kau sengaja menyembunyikan
kenyataan. Aku menghargai kebesaran jiwa dan kerendahan hatimu." Wiro
melirik ke arah gagang pedang berbentuk kepala naga yang tersembul di balik
punggung sang paderi. Wiro terkesiap sesaat Untuk pertama kali dia menyadari
ukiran kepala naga yang jadi gagang pedang sang paderi bentuknya sama dengan
kepala naga gagang Naga Geni 212 miliknya.
"Saudara Wie, kau yakin aku
menolongmu?"
"Saat itu aku melihat satu bayangan merah
berkelebat disertai berkiblatnya cahaya merah. Aku yakin bayangan merah itu
adalah dirimu yang mengenakan pakaian merah. Lalu cahaya merah adalah cahaya
pedang sakti yang kau bekal di punggung. Pasti dengan pedang sakti itu kau
telah membabat putus tangan Ki Beringin Reksa. Selain itu aku mencium dan
mengenali satu bau harum. Bau tubuh dan pakaianmu. Nionio. saat kau menolongku
kita belum saling mengenai. Mengapa mau turun tangan menghadang bahaya
menyelamatkan diriku?"
‘Apakah untuk menolong seseorang yang terancam
jiwanya kita harus banyak berpikir? Sebelum selesai berpikir bisa-bisa orang
yang mau ditolong sudah mati duluan."
Wiro tertawa lebar.
"Selain itu, hal tolong menolong bukankah
hukum yang tidak tertulis didalam limbah persilatan?"
"Kau benar Nionio. Aku ingin mengucapkan
terima kasih atas pertolonganmu."
Loan Nio Nikouw hanya tersenyum dibalik cadar
manik-manik yang menutupi wajahnya.
"Nionio, kalau saja ada sesuatu yang bisa
aku lakukan untuk membalas budi baik dan hutang nyawaku..."
"Saya menolong bukan mengharapkan pamrih.
Tapi jika ada kesudian, harap saudara Wie mau menemui saya ditempat kediaman
Adipati Brebes, lusa tengah malam."
Wiro agak heran mendengar ucapan sang paderi.
"Adipati Brebes? kau mengenal Adipati
Itu!"
"Saat ini dia satu-satunya orang yang bisa
memberi petunjuk dalam mencari dua buah dadu itu. Apakah Saudara Wie bersedia
datang ? Saya memerlukan seorang teman untuk menemani sewaktu menemui Adipati
itu."
Wiro mengangguk.
Tunggu saya didepan pintu gerbang gedung
kadipaten. Saya akan datang tepat pada pertengahan malam."
"Mengapa harus pada pertengahan malam?
Bukan siang hari?" tanya pendekar 212 pula.
Itu permintaan Adipati Brebes. Saya hanya bisa
mengikuti. saya orang asing. Mungkin Adipati tidak mau ada orang luar yang tahu
saya mengunjunginya."
Wiro anggukkan kepala.
"Saudara Wle, saya harus pergi sekarang.
Saya ada keperluan lain. Kita bertemu di tampatyang saya katakan tadi."
"Nionio, tunggu dulu. Bagaimana kau bisa
mengenal Adipati Brebes padahal kau belum lama berada di sini."
Pertanyaan Wiro itu menimbulkan sedikit rasa
curiga dalam diri Loan Nio Nikouw. Apa perlunya pemuda gondrong Ini menanyakan
hal itu.
"Jangan-jangan dia tengah menyelidiki
diriku" pikir sang paderi.
"Jika kau tidak mau memberi tahu tidak
jadi apa." Ucap Wiro ketika dilihatnya orang hanya berdiam diri tak mau
menjawab.
Loan Nio Nikouw ambil papan seluncur yang
tergantung di punggungnya. Papan ini dijatuhkan ke dalam telaga, diinjak dengan
kaki kanan. Begitu sang paderi celupkan kaki kiri ke dalam air dan dikibaskan
ke belakang, papan seluncur melesat ke depan. Hanya dua kali menggerakkan kaki
kiri, Loan Nio Nikouw sudah berada di tepi barat telaga, naik ke darat dan
lenyap dari pemandangan.3Udara malam terasa dingin sementara angin bertiup
kencang. Langit kelihatan gelap kelam. Tak ada bulan tak ada bintang. Mungkin
tak lama lagi akan turun hujan. Gedung besar kediaman Adipati Brebes tampak
sunyi. Hanya ada sebuah lampu kecil menyala di langkan depan. Pintu gerbang
tertutup rapat Tak kelihatan seorang pengawalpun di tempat Itu. Bagi Kiang Loan
Nio Nikouw yang menunggang kuda, tidak Sulit mencarl gedung kediaman Adipati
Brebes. Begitu sampai di depan pintu gerbang, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu lima perajurit bersenjata tombak telah mengurung. Walau mengurung
sikap mereka menunjukan rasa hormat Mereka memegang tombak dengan ujung lancip
di arahkan ke tanah. "Tamu berkuda, apakah kami berhadapan dengan paderi
dari Tionggoan?" Salah seorang dari lima perajurit bertanya. "Saya
memang paderi dari Tionggoan. Nama saya Kang Loan Nio." Jawab penunggang
kuda. Pada saat itu pintu gerbang terbuka. DI pertengahan pintu berdiri seorang
berjubah biru yang mata kanan ditutup sehelai kain tebal berwarna hitam. Dua
tangan dirangkap di atas dada, sepasang kaki yang tajam masih bisa melihat Dua
kaki yang tersembul dari bagian bawah jubah biru orang bermata satu ini bukan
kaki manusia biasa, melainkan berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinya.
"Henimm... kehadiran orang aneh Ini membuat aku tidak enak," ucap
Loan Nio Nikouw dalam hati.
"Harap tamu terhormat menunjukkan tanda
pengenal." Si picak berkata.
Masih duduk di atas kuda, Loan Nio Nikouw
gerakkan tangan kanan ke punggung.
"Srett!"
Satu cahaya merah menerangi tempat di sekitar
pintu gerbang. Itulah cahaya Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah yang barusan
dicabut sang Paderi perempuan dari sarung di belakang punggung. Lelaki picak di
ambang pintu gerbang menatap penuh kagum dengan mata kiri.
"Ini rupanya pedang sakti yang dikatakan
Adipati. Sebentar lagi senjata itu akan menjadi milikku." Si mata satu
sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Setelah membungkuk, dia melangkah ke
kiri dan berkata.
"Paderi dari Tionggoan, atas nama Adipati
Brebes aku mengucapkan selamat datang. Adipati telah menunggu. Tak usah turun
dari kuda. Silahkan mengikuti."
Kiang Loan Nio Nikouw sarungkan senjatanya
kembali. Dia memandang berkeliling lalu berkata. "Saya menunggu seorang
teman. Kami akan menghadap Adipati berdua. Apakah bisa menunggu barang
sebentar?"
"Turut apa yang aku tahu, paderi dari
Tionggoan hanya akan menemui Adipati seorang diri."
Kian Loan Nio Nikouw kembali memandang
berkeliling. Dia merasa kecewa karena tidak melihat Wiro di tempatitu. Untuk mengulur
waktu dia bertanya. "Apakah Adipati sudah siap dan berkenan menerima
saya?"
"Adipati orang yang tepat janji. Karena
itu jangan membuat dia tidak enak karena terlalu lama menunggu."
"Apakah sebelum ini tidak ada tamu lain
yang datang?"
"Tamu siapa maksud paderi?"
balikbertanya si jubah biru mata satu.
"Seorang pemuda berambut panjang
sepundak."
Si mata satu gelengkan kepala. "Tidak ada
tamu lain. Malam ini Adipati hanya berkenan menerima kedatangan satu orang tamu
yaitu Paderi dari Tionggoan. Pemuda yang paderi maksudkan itu, apakah dia punya
nama. Mungkin punya gelar?"
"Namanya Wie Lo Sab Leng. Bergelar
Pendekar Kapak Naga Geni Dua Satu Dua."
Tampang si mata satu jadi berubah. Namun dia
cepat-cepat tertawa untuk menghilangkan bayangan rasa terkejut dimukanya.
"Paderi, aku yakin pemuda yang kau
maksudkan itu adalah Wiro Sableng. Sekarang sebaiknya paderi segera
masuk."
"Kalau saya boleh bertanya, saya
berhadapan dengan siapa?" Loan Nio Nikouw bertanya.
"Namaku Sentot Balangnipa. Aku Kepala Pengawal
gedung Kadipaten." Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Dadu
Setan) Ki Sentot Balangnipa adalah salah seorang tokoh rimba persilatan yang
melindungi Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak secara tersembunyi
di bawah Bukit Batu Seruling. Mata kanannya amblas ditembus Kujang Emas Kiai
Pasundan milik Rayi Jantrayang kepala Pasukan Kadipaten Losari Kini mata kanan
yang buta itu ditutup dengan kain tebal hitam.
Begitu mengetahui siapa adanya orang di
hadapannya Loan Nio Nikouw segera rundukkan badan memberi hormat
"Paderi dari Tionggoan, kau ingin
menghadap Adipati atau tidak. Jika Ingin harap segera masuk. Jika kau beri
ama-tama di sini Jangan salahkan kalau aku terpaksa menutup pintu
gerbang."
Loan Nio Nikouw maklum dia tidak bisa mengulur
waktu karena lelaki di depannya tampakmulai tidak senang. Sebelum menggerakkan
kudanya, paderi ini kembali memandang berkeliling Wiro yang diharapkan akan
muncul tetap tidak kelihatan.
"Apa yang terjadi? Apa pemuda itu mendapat
halangan atau dia memang sengaja mendustai diriku...?" membatin sang
paderi.
Pintu gerbang tertutup begitu Loan Nio Nikouw
masuk ke halaman gedung Kadipaten. Dia tidak tahu sampai dimana kehebatan
lelaki mata picak mengaku bernama Sentot Balangnipa ini. Namun dan keadaan dua
kakinya yang menyerupai kaki kuda, sikap serta gerak-gerik, sang paderi segera
memaklumi orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Di depan tangga gedung Kadipaten, Sentot
Balangnipa hentikan langkah lalu balikan badan.
"Paderi, kau boleh turun dari kuda. Ada
yang akan mengurus binatang itu. Solanjutnyasllahkan mengikuti."
Loan Nio Nikouw turun dari kuda lalu menaiki
tangga depan gedung Kadipaten. DI depannya si jubah biru bermata satu melangkah
enteng di atas lantai babi pualam tanpa suara, padahal dua kakinya dilapis
ladam besi. Setiap ruangan yang dilalui dalam keadaan redup karena hanya
diterangi oleh lampu minyak kecil. Di satu tempat yang merupakan ruangan luas
Ki Sentot Balangnlpa hentikan langkah. Kaki kanan dlketukan tiga kail ke lantai
batu pualam. Serta merta enam buah lampu minyak besar di tempat Itu menyala.
Keadaan Jadi terang benderang. Ki Sentot melirik ke samping memperhatikan tubuh
elok Loon Nio Nikouw di sampingnya.
"Sayang wajahnya tertutup untaian
manik-manik. Aku yakin wajahnya pasti cantik sekali. Bau tubuhnya yang harum
hemmmm..."ucap Ki Sentot Balangnipa dalam hati.
Loan Mo Nikouw memandang berkeliling.Temyata
ruangan Itu memiliki tiang-tiang kayu berukir serta empat dinding yang dipahat
sangat indah. DI dinding sebelah depan ada sebuah pintu kayu berukir dengan
gambar seorang perompuan muda tanpa pakaian menunggang kuda.
Kembali Ki Sentot Balangnlpa hentakkan kaki
kanan tiga kali ke lantai.
Pintu kayu berukir bergeser ke samping. Sesaat
kemudian dari dnlam ruangan keluar seorang lelaki bertubuh kukuh, mengenakan
blangkon biru dan jas tutup hitam. Berewok serta kumisnya tebal sekali.
Inilah Raden Mas Karta Sumlnta, Adipati Brebes.
Sang Adipati tartawa lebar lalu rundukkan
kepala sedikit dan berkata. "Paderi Loan Nio, sungguh satu kehormatan
besar kau bersedia memenuhi janji datang ke gedungku."
"Adipati, saya mengucapkan terima kasih
karena Adipati! telah sudi menyediakan waktu menerima kedatangan saya."
Jawab Loan Nio Nikouw sambil membalas penghormatan orang dengan membungkukkan
badan. Lalu dia menyambung ucapannya. "Saya maklum Adipati tidak punya
banyak waktu Apakah kita bisa bicara di sini?"
"Jangan khawatir. Untuk Paderi Loan Nio
saya akan meluangkan waktu luas. Tidak usah terburu-buru. Mari kita
berbincang-bincang di dalam."
"Adipati Brebes mompersilahkan tamunya
masuk ke dalam ruangan. Dia memberi isyarat pada Ki Sento tBalangnipa yang
segera tinggalkan tempat itu.
"Adipati, ada sesuatu yang hendak saya
sampaikan." Kata Sentot Balangnipa. Maksudnya hendak memberi tahu bahwa
tamu paderi perempuan dari Tionggoan itu punya hubungan dengan Pendekar 212
Wiro Sableng. Namun Adipati menjawab setengah berbisik.
"Nanti saja. Pada saatnya harap kau
bersiap-siap untuk mengambil pedang milik sang paderi."
Ki Sentot Balangnipa mengangguk lalu tinggalkan
tempat itu.
Perlahan-lahan pintu kayu berukir gambar
perempuan telanjang menunggang kuda menutup kembali.
Ruang dimana Loan Nio Nikouw berada ternyata
sebuah ruangan yang sangat bagus. Lantai tertutup permadani dari Turki. Empat
dinding memiliki warna dasar biru muda dinhiasi lukisan pemandangan yang saling
sambung antara dinding satu dengan dinding lainnya. Loan Nio Nikouw belum
pernah melihat lukisan begini indah dan seolah hidup sehingga merasa berada di
satu alam terbuka penuh kesegaran.
Di tengah ruangan terdapat sebuah meja dan dua
kursi terbuat dari kayu jati berukir burung pada bagian sandaran dan tangan
kursi kiri kanan. Di atas meja ada sebuah piala kaca serta dua buah seloki
besar yang juga terbuat dari kaca. Adipati Brebes mempersilahkan tamunya duduk.
Entah mengapa saat itu Loan Nio Nikouw merasa
hatinya kurang tenteram. Karena itu setelah duduk di kursi paderi ini langsung
bicara pada maksud kedatangannya.
"Adipati, saya tidak ingin mengganggu
Adipati terlalu lama. Ijinkan saya bicara pada pokok persoalan. Saya sudah
menerima keterangan dari penghubung kita bahwa Adipati mengetahui dimana
beradanya dua buah dadu gading yang berasal dari Tiongkok itu."
"Paderi Loan Nio waktu kita cukup banyak.
Mengapa terburu-buru? Lagi pula bukankah sepatutnya saya menjamu Paderi lebih
dulu?" Habis berkata begitu Adipati Brebes Karta Suminta menuangkan
minuman dalam piala ke dalam dua buah cangkir kaca.
"Minuman ini tidak ada di Tiongkok.
Terbuat dari jahe yang ditumbuk halus, diberi air yang sudah dimasak ditambah
madu dari negeri Arab. Jika diminum hangat-hangat akan membuat tubuh terasa
segar, otak jernih, pandangan menjadi terang serta hati lega. Ha_ ha... ha...
Silahkan Paderi mencicipi..."
Loan Nio Nikouw tampak sedikit bimbang.
"Saya tidak haus katanya.
"Tidak baik menampik. Atau mungkin Paderi
menaruh curiga akan sesuatu...?"
Adipati Brebes ambil seloki di hadapannya lalu
meneguk minuman di dalam seloki itu sampai habis. Wajahnya kelihatan merah dan
keringat memercik di kening. Pelipis kiri kanan tampak bergerak-gerak.
"Tidak ada apa-apa dalam minuman ini.
Tidak ada racun" kata Adipati pula lalu tertawa lebar.
Karena merasa tidak enak. Loan Nio Nikouw
akhirnya ulurkan tangan mengambil seloki di atas meja. Sebelum meneguk, minuman
itu diciumnya terlebih dulu. Terendus bau sedap harum dan hangat Sang paderi
hanya meneguk seperlima dari isi seloki kaca lalu letakkan seloki di atas meja.
"Adipati, kembali pada pertanyaan saya
tadi. Benar Adipati mengetahui dimana beradanya dua buah dadu gading Itu?"
Adipati Brebes terlebih dulu usap kumis dan
janggut lebatnya baru menjawab.
"Memang betul. Saya mengetahui. Tapi
mengetahui keberadaan dua buah dadu bukan berarti saya telah
memilikinya-."
"Saya mengerti. Saya juga maklum kalau
Adipati bisa menolong saya untuk mendapatkan dua buah dadu itu."
"Saya sudah menyuruh dua orang kepercayaan
saya untuk mengawasi tempat dimana dua buah dadu itu berada. Pagi nanti sebelum
fajar menyingsing kita bersama-sama mendatangi tempat itu. Sementara itu kita
masih punya banyak waktu untuk bercakap-cakap bertukar pengalaman. Selain itu
ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Namun jika Paderi Loan Nio mungkin
merasa letih dan ingin beristirahat, saya sudah menyediakan kamar tersendiri
sambil menunggu datangnya pagi."
Loan Nio Nikouw kedipkan kedua matanya beberapa
kali. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Tubuhnya
terasa panas. Aliran darah mengencang sementara jantungnya berdetak lebih cepat
Paderi ini mulai merasa curiga.
"Terima kasih, saya tidak letih..."
"Mengantuk mungkin?"
‘Tidak juga. Tapi..." Sang Paderi menguap.
Cepat-cepat dia tutupkan tangan kanan ke mulut Sepasang matanya berair. Kepala
terasa berat tersentak ke depan. "Maafkan saya. Beberapa hari ini saya
memang kurang tidur»" Loan Nio Nikouw menguap kembali. Bersamaan dengan
itu kepala dan tubuhnya terkulai ke kursi.
Adipati Karta Suminta tersenyum. Perlahan-lahan
dia berdiri, melangkah ke dinding. Saat itu juga bagian tengah dinding yang
berseberangan bergerak turun ke lantai ruangan, membentuk sebuah tempat tidur
besar berkasur tebal, terbungkus seperai lembut
Gelegak nafsu membersit jelas di wajah yang
menyeringai. Adipati Karta Suminta mendatangi sosok yang terkulai tak sadarkan
diri di kursi kayu jati. Kemudian diambilnya pedang dan papan seluncur yang ada
di punggung paderi Loan Nio, diletakkan di atas meja. Lalu tubuh Loan Nio
Nikouw didukung, dibaringkan di aias tempat tidur. Lalu Adipati ini membuka
pakaiannya. Dengan hanya mengenakan celana dalam dia kemudian berbaring
disamping Loan Nio Nikouw. Topi biru yang bersambung dengan untaian manik-manik
merah ditanggalkan dari kepala sang Paderi.
Untuk beberapa saat lelaki ini terkesiap
sewaktu melihat ternyata sang Paden berkepala licin gundul. Walau tidak
memiliki rambut namun wajah sang Paderi tampak cantik jelita. Alis lengkung bak
bulan sabit bibir merah seperti delima merekah. Adipati Brebes ciumi kepala
gundul dan wajah cantik harum itu berulang kali.
Sambil tertawa lebar dan pandang wajah serta
kepala Loan Nio Nikouw Adipati Karta Suminta usap-usap janggutnya yang leba
"Seumur hidup baru kal in aku melihat
gadis botak secantik ini. Ha... ha... ha . Penga.aman baru! Aku akan meniduri
gadis botak!" Karta Suminta melirik ke bagian bawah pinggang Paderi Loan
Nio. "Apakah...apakah.Ha...ha...ha! "Dengan penuh nafsu dia kembali
menciumi wajah dan kepala gundul Paderi dari Tionggoan itu berkali-kali.
Dua tangan Adipati Karta Suminta kemudian
bergerak menyingkap dada pakaian sang Paderi. Di balik pakaian luar warna merah
berkembang-kembang biru dan kuning itu ada selapis pakaian dalam. Pakaian dalam
ini begitu tipis sehingga sang Adipati dapat melihat jelas dada Loan Nio
Nikouw. Sepasang matanya membesar. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada
begitu bagus, putih dan mulus. Penuh gelegak nafsu lelaki ini sapukan wajahnya
dengan gemas ke dada Loan Nio Nikouw.
"Braakk!"
Tiba-tiba atap ruangan jebol. Sesosok tubuh
melayang turun. Bersamaan dengan itu satu tendangan menderu ke arah kepala
Adipati Brebes yang tengah melampiaskan nafsunya itu sementara Loan Nio Nikouw
masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.4Dalam gelapnya malam Pendekar 212 Wiro
Sableng hentikan lari. Dia membungkuk untuk mengencangkan ikatan kasut di kaki
kanan. Sebenarnya ini adalah satu kepura-puraan belaka. Sejak tadi dia
mengetahui ada seseorang berlari menguntit dirinya. Sambil membungkuk Wiro
memperhatikan ke belakang. Gelap sunyi. Tak tampak seorangpun. "Cepat juga
setan itu sembunyi" pikir Wiro ‘Tapi aku akan segera mengetahui siapa
orangnya." Wiro lanjutkan lari ke arah utara menuju Kadipaten Brebes.
Malam itu sesuai perjanjian tepat tengah malam dia akan menemui Kang Loan Nio
Nikouw di pintu gerbang gedung kediaman Adipati Brebes. Semula Wiro mengira
orang yang menguntitnya adalah sang Paderi sendiri. Namun setelah ditunggu
beberapa lama orang yang membuntuti itu takkunjung menyusul atau unjukkan diri.
Wiro jadi curiga. Di satu tempat dia berkelebat ke balik serumpunan semak
belukar lalu melompat naik ke sebuah pohon bercabang rendah berdaun rimbun.
Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan. Namun tak selang berapa lama sang
penguntit muncul juga. Wiro tak percaya pada penglihatannya. Orang yang
mengikuti itu ternyata pemuda berpakaian biru bermuka tengkorak dari Tionggoan
yang bukan lain adalah Liok Ong Cun alias Pendekar Muka Tengkorak Ko Lo Khek.
Wiro segera ingatakan penjelasan Nio Nikouw bahwa pendekar murid Siauw Lim ini
pernah keluarkan ancaman akan membunuh setiap lelaki yang mendekati dirinya.
Wiro maklum sudah. Liok Ong Cun sengaja
menguntit dengan membekal maksud jahat
"Sejak tadi dia sengaja tidak mau unjukkan
diri. Pasti karena ingin mengetahui lebih dulu kemana tujuanku." Pikir
Wiro. "Mungkin juga dia sudah tahu kalau aku akan menemui paderi perempuan
yang digilainya itu."
Wiro menatap ke langit. Tengah malam, waktu
perjanjian dengan Loan Nio Nikouw hampir tiba Jika mengurusi manusia satu ini
bisa-bisa dia terlambat sampai di gedung kediaman Adipati Tapi kalau tidak
diurusi tetap saja LiokOng Cun akan jadi penghalang. Wiro tidak mau kalau orang
itu tahu kemana dia pergi dan bertemu dengan sang paderi. Wiro memutuskan untuk
segera saja turun dari atas cabang pohon. Tapi belum sempat hal itu dilakukan
satu cahaya hijau tiba-tiba memancar di bawah sana. Di lain saat satu sosok
biru melesat ke udara lalu cahaya hijau berkiblat ke arah pohon dimana Wiro
berada.
"Craass...craass!"
Luar biasa! Dalam waktu singkatdaun pohon
dibalik mana Wiro berada tertebas luruh dan melayang jatuh ke tanah. Setengah
bagian dari pohon menjadi gundul! Keberadaan sosok Wiro di atas pohon yang tadi
terlindung kini terlihat jelas. Sosok biru melesat ke tanah. Di bawah sana Liok
Ong Cun berdiri dengan dua kaki merenggang sementara sebilah pedang hijau
dimelintangkan di depan dada. Mulutnya mengumbar tawa bergelak.
"Manusia di atas pohon! Mengapa masih
belum turuni Apa baru mau turun kalau kutabas dulu batang lehermu dengan Ceng
Coa Kiam?»"
Walau Pendekar 212 tidak mengerti apa yang
diucapkan orang karena Liok Ong Cun bicara dalam bahasa Cina tapi Wiro maklum
kalau pemuda bertopeng muka tengkorak itu bicara dan mengejek dirinya. Tidak
tunggu lebih lama Wiro segera melompat turun. Sebaliknya selagi Wiro melayang
di udara Liok Ong Cun melompat ke atas. Pedang sakti di tangan kanannya
membabat ganas, menebar cahaya hijau dalam jurus angker bernama Jai Hong Toh Te
atau Pelangi Melengkung Ke Bumi.
Cahaya hijau setengah lingkaran berkiblat
menabas menyamping dari atas ke bawah, disertai suara bersuit ganas. Yang
diincar adalah kepala dan tubuh Pendekar 212.
Sebelumnya Wiro telah melihat jurus serangan
ini yaitu ketika Liok Ong Cun menghadapi Nionio Nikouw. Digempur serangan hebat
saat itu sang paderi tidak sampai celaka karena keburu ditolong dua nenek
kembar jejadian. Wiro tak mau berlaku ayal. Dengan cepat dia berkelebat ke
samping sambil tangan kiri lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Selarik angin deras melabrak Liok Ong Cun.
Gerakan tubuh pendekar Tionggoan muka tengkorak ini menjadi goyang dan tertahan
sedikit namun tangan kanannya yang memegang pedang masih mampu menyusup ke
depan.
"BrettT
Ujung Pedang Ular HIjau merobek lengan kanan
baju putih Wiro.
Wiro berseru kaget dan memaki dalam hati.
"Gila! Gebrakan pedangnya cepat
sekali.Tenaga dalamnya juga tinggi. Pukulan saktiku tidak membuatnya
mental!"
Begitu menjejakkan kaki di tanah, Liok Ong Cun
kembali menyerbu. Seperti tadi gerakannya luar biasa cepat Wiro sambut serangan
lawan dengan tawa bergelak lalu membuat gerakan aneh. Dia keluarkan ilmu silat
Orang Gila yang didapatnya dari kakek sakti bernama Tua Gila.
LiokOng Cun kerenyitkan kening sewaktu melihat
sosok lawan bergerak perlahan, terhuyung ke kiri dan ke kanan, bergerak seperti
mau terjerembab sementara dua tangan menggapai ke atas dan ke samping Kepala
mendongak dan mulut terus mengumbar tawa. Gerakan Wiro yang perlahan seolah
berlaku ayal ini membuat Liok Ong Cun jadi penasaran. Dasar ilmu pedangnya
adalah gerakan cepatsementara lawan melayani dengan gerakan perlahan. Dia
merasa dalam waktu dua jurus saja dia akan mampu membacok kepala atau menabas
tubuh Wiro!
Liok Ong Cun menyerbu dengan jurus Yau Te Soan
alias Langit Bergoyang Bumi Berputar. Pedang sakti warna hijau di tangannya
melesat menggeletar laksana ular menyambar.
"Heee.„" Wiro mencibir. Kepala
dimiringkan, dua lutut ditekuk. Pedang hijau menderu ganas setengah jengkal di
depan kening Pendekar 212!
"Setan! Aku mau lihat apa kau mampu
menghindar dari jurus maut ini!" teriak Liok Ong Cun yang jadi marah
karena selain diejek serangannya tadi berhasil dihindari lawan. Untuk kesekian
kalinya Pedang Ular Hijau membabat berkesiuran ke arah pinggang namun tiba-tiba
serangan berubah menjadi satu tusukan. Luar biasa! Tidak gampang merubah
babatan menjadi tusukan. Apa lagi serangan itu dilakukan dengan kekuatan penuh
dan kecepatan tinggi!
Itulah salah satu jurus andalan ilmu pedang
LiokOng Cun yang disebut Cip Hian JayHon atau Tiba-tiba Muncul Pelangi.
Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang.
Senjata lawan tahu-tahu sudah menusuk ke arah dadanya. Tepat pada saat ujung
pedang menyentuh pakaiannya, tubuh Wiro tiba-tiba meliuk ke kiri dan rebah ke
belakang. Bersamaan dengan itu dua tangannya membuat gerakan seperti orang
bertepuk. Badan pedang hijau terjepit diantara dua telapak tangan Wiro Ketika
tubuh Wiro jatuh punggung, senjata lawan yang ikut Tertarik menancap menghujam
di tanah.
Liok Ong Cun berseru kaget
"Bagaimana mungkin!" teriaknya heran.
Di Tionggoan, tingkat kepandaian menarik pedang dengan dua telapak tangan
seperti itu hanya bisa dilakukan oleh para tetua Siauw Lim Apakah pemuda
berambut gondrong ini lebih hebatdari tokoh Siauw Lim?!
Rasa kaget membuat Liok Ong Cun bedaku lengah.
Dia tak Sempat menghindar ketika dari bawah kaki kiri Wiro melesat ke atas,
kirimkan tendangan yang dengan telakmenghajar bahu kanannya. LiokOng Cun
berteriak kesakitan, memaki habis-habisan. Wiro melompat bangkit Diam-diam dia
merasa kagum.Orang lain jika ditendang seperti itu pasti sudah remuk tulang
bahunya.Tapi Liok Ong Cun berteriak kesakitan lalu usap-usap bahu kanannya.
"Antara kita tidak ada permusuhan. Mengapa
kau hendak membunuhku? Cemburu giia?!"
Liok Ong Cun yang tidak mengerti ucapan Wiro
keluarkan kutuk serapah yang tidak di mengerti Wiro. Tindakan pemuda muka
tengkorak ini ternyata tidak sampai hanya memaki. Tapi sambil melangkah
kehadapan lawannya dia lalu meludahi, muka Wiro.
Dihina orang seperti itu membuat darah pendekar
212 jadi menggelegak. Ubun-ubunnya terasa panas. Seumur hidup belum pernah dia
diperlakukan orang seperti itu. Dibarengi teriakan penuh amarah Wiro menerjang.
Kalau tadi ketika mengeluarkan ilmu silat orang gila gerakan Wiro begitu lamban
seperti orang mabok, kini tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang, dua
tangannya lenyap dari pemandangan!
Belum pernah Liok Ong Cun menghadapi lawan yang
punya kemampuan ilmu silat tangan kosong begini hebat dengan cepat dia membuat
gerakan perlawanan, lancarkan jurus-jurus pertahanan yang sesekali diseling
serangan-serangan kilat dengan mengandalkan ketinggian tenaga dalam serta
kecepatan gerak. Beberapa kali dua tangan mereka saling bersilang dan beradu
sampai mengeluarkan suara keras. Setiap terjadi bentrokan tangan, Wiro
terpental satu langkah, sebaliknya Liok Cun hanya mengeluh kesakitan. Mengira
dia memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang lebih andal dari
lawan, pendekar dari Tionggoan ini terus merangsak Namun dia salah menafsir.
Saat itu Pendekar 2l2 telah keluarkan Ilmu silat yang bersumber pada Kitab
Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari enam
jurus pukulan inti yang mendasari ilmu silat langka itu Wiro hanya mengeluarkan
tiga jurus saja yakni Tangan Dewa Menghantam Air Bah, Tangan Dewa Menghantam
Api dan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
LiokOng cun memang luar biasa Dia sanggup
mengelakkan dua jurus pertama serangan lawan yang menghantam ke arah kiri dan
kanan tubuhnya. Namun jurus ketiga yang bernama Tangan Dewa Menghantam Matahari
tidak sanggup dia hindari. Pemuda ini menjerit keras ketika jotosan tangan
kanan Wiro mendarat telak di wajahnya.
"Kraak!"
Tulang hidung remuk. Bibir pecah. Darah
mengucur, menggerung kesakitan dan megap-megap karena sulit bernafas Liok Ong
Cun terhuyung mundur. Tiba-tiba orang ini berteriak keras seperti kemasukan
setan. Darah menyembur dari hidung dan mulut Tubuh jatuh punggung tergelimpang
di tanah. Sepasang mata mendelik.
"Mati apa pingsan?" pikir Wiro
memperhatikan.
Sosok Liok Ong Cun tak bergerak.
Wiro menatap ke langit Dia ingat janji
pertemuannya dengan Nionio Nikouw.
"Celakai Aku sudah terlambat!" ucap
Wiro. Tanpa perdulikan Liok Ong Cun lagi Wiro segera berputar badan tinggalkan
tempat itu. Namun baru beberapa langkah berlari tiba-tiba sosok Liok Ong Cun
yang tergeletak tak bergerak di tanah melesat bangkit Mata tetap mendelik. Muka
tengkoraknya berlumuran darah Tangan kanan dipentang ke depan.
"Kreeekk!"
Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun
tiba-tiba mencuat panjang, runcing dan hitam. Wiro tersentak kaget ketika
mendadak di belakangnya ada suara sambaran angin. Dengan cepat dia berbalik
namun terlambat
"Breett!"
Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun
merobek pakaian Wiro, membuat lima guratan luka di punggungnya.
"Keparat kurang ajar!"
Wiro berteriak marah. Balikkan tubuh sambil
tangan kanan menghantam.
"Brukkk!"
Liok Ong Cun menggerung keras. Tubuhnya
terlempar sampai dua tombak. Tertantang di tanah megap-megap. Mulut kucurkan darah
segar. Perutnyayang terkena jotosan mengalami luka dalam yang parah. Wiro
melompat menghampiri. Dalam marahnya murid Sinto Gendeng ini cabut Pedang Ular
Hijau yang sampai saat itu masih menancap di tanah. Pedang ini kemudian
dihunjamkan ke arah tubuh LiokOng Cun yang tidak berdaya. Sesaat lagi ujung
pedang akan menembus perut pendekar Tionggoan itu, Wiro berubah pikiran.
"Craass!"
Pedang Ular Hijau ditancapkannya ke tanah di
antara dua pangkal paha Liok Ong Cun.
"Bunuh! Aku tidak takut matil ucap Liok
Ong Cun.
"Keparat! silahkan kau mau omong apa. Tadi
kau meludahi Mukaku. Sekarang terima balasannya!"
Wiro selorotkan celananya ke bawah. Lalu serr!
Air kencingnya mancur membasahi m uka orang. Sebagian masuk ke datam mulut Liok
Ong Cun hingga pemuda ini keluarkan suara menggorok, sulit bernafas. Mau tak
mau giek, gtek, glek, akhirnya dia terpaksa menelan air kencing yang menggenang
didalam mulutnya!
"Manusia jahanam.'" rutuk Liok Ong
Cun. "Aku bersumpah mengorek jantungmu mencincang tubuhmu!"5Ketika
Wiro sampai di depan gedung kediaman Adipati Brebes, pintu gerbang dalam
keadaan terkunci dan suasana serba sunyi.
"Sial, gara-gara pemuda sinting tadi aku
jadi terlambat Paderi itu tidak kelihatan. Apa dia sudah masuk ke dalam
gedung?"
Wiro naik ke sebatang pohon yang salah satu
cabangnya menjulal ke arah tembok gedung Kadipaten. Untuk beberapa lama dia
mendekam memperhatikan keadaan. Seperti di luar, halaman dalam gedung Kadipaten
juga tampak sunyi. Tak kelihatan seorang pengawalpun. Gedung besar tempat
kediaman Adipati Brebes itu bagian depannya terselubung kegelapan. Tak ada
satupun lampu menyala. Wiro merasa tidak enak. Jika seorang tuan rumah menunggu
kedatangan tamu penting, adalah aneh rumahnya berada dalam keadaan gelap
seperti itu.
Dari cabang pohon Wiro melompat ke atas tembok
lalu melayang turun kehalaman dalam. Belum lama dia menginjakkan kaki di tanah
tiba-tiba terdengar orang berteriak.
"Ada orang menyusup di halaman
dalam!"
Saat itu juga tiga orang pengawal bersenjata
tombak dan satu mencekal golok berkelebat dalam gelap mengurung Pendekar 212.
"Aku bukan penyusup! Aku mencari seorang
teman yang malam ini menemui Adipati Brebes. Temanku itu seorang paderi
perempuan dari negeri Cina!" Wiro menjelaskan.
Empat orang pengawal Gedung Kadipaten mana mau
perduli.
"Menyerah atau kami akan membunuhmu saat
ini juga!" salah seorang pengawal membentak.
"Antarkan aku menghadap Adipati!"
Kata Wiro pula.
Empat pengawal takmenyahufj. Yang menjawab
tombak dan golok.
Tiga mata tombak menusuk ke arah dada, perut
dan pinggang sementara golok besar berkelebatmengincar kepala.
"Sial!" Wiro memaki jengkel. Dia
bergerak cepat Tangan dan kaki berkelebat Dua pengawal terjengkang pingsan
begitu tendangan dan kepalan Wiro menghantam mereka. Pengawal ke tiga yang
memegang golok keluarkan keluhan pendek lalu tertegun kaku tak mampu bergerak
atau bersuara karena urat besar di leher kanannya telah ditotok.
Pengawal ke empat yang memegang tombak rupanya
memiliki ilmu silat paling tinggi. Tombak di tangannya dibolang-baling, menderu
kian kemari.
"Kunyuk gondrong! Amblas perutmu! Jebol
ususmu!" Teriak pengawal ini sambil kirimkan satu tusukan kilat ke perut
Wiro. Dia begitu yakin serangannya akan menemui sasaran. Dia tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa.
Wiro mundur satu langkah. Tangan kiri melesat
ke depan. Si pengawal kaget bukan main sewaktu tombaknya dicengkeram lalu
dibetot lepas. Dia cepat menerjang. Namun gagang tombak keburu mengemplang
kepalanya Tak ampun lagi orang ini roboh pingsan ke tanah.
Wiro tinggalkan empat pengawal yang
bergelimpangan di halaman gedung. Dia segera hendak berkelebatmenuju pintu
depan. Namun tidak sengaja matanya melihat ada seseorang mendekam di atas salah
satu wuwungan gedung.
"Kalau dia pengawal, mengapa berada di
atas atap. Kalau dia paderi perempuan itu mengapa bertamu di atas
wuwungan." Pikir Wiro.
Bangunan gedung Kadipaten memiliki beberapa
wuwungan.
Wiro melesat ke wuwungan paling rendah lalu
melompat ke wuwungan yang lebih tinggi. Tak lama kemudian dia sudah berada di
atas wuwungan dimana orang yang tadi dilihatnya dari bawah berada. Orang ini
berpakaian jubah biru gelap. Saat itu dia tengah mengintip ke dalam bangunan
lewat sebuah genteng yang sengaja dibuka. Demikian asyiknya dia mengintip
hingga tidak tahu kalau ada orang lain naik ke atas atap. Juga tidak mendengar
teriakan-teriakan di bawah sana. Tanpa suara Wiro dekati si jubah biru. Wiro
tepuk bahu orang ini lalu berkata."
"Sobat, kalau ada pemandangan bagus jangan
dilihat sendiri. Bagi-bagilah..."
Kejut si jubah biru yang adalah Ki Sentot
Balangnipa bukan alang kepalang. Cepat dia palingkan kepala.
"Keparat! Siapa kau?!" Ki Sentot
Balangnipa membentak. Dia memang sudah sering mendengar nama dan kehebatan
Pendekar 212 Wiro Sableng namun belum pernah melihat sendiri orangnya.
Melihat tampang orang yang menyerupai muka
kuda, Pendekar 212 menyeringai "Eh, matamu ternyata cuma satu. Masih saja
doyan mengintipi Minggir sana, aku mau lihat apa yang sedang kau intip!"
Wiro dorong bahu si jubah biru dengan
pantatnya. Orang ini menggembor marah. Tubuh dibungkukkan, kaki kiri menendang.
Gerakannya cepat sekali.
"Wutt!"
Wiro tersentak kaget Bukan karena mendapat
serangan mendadak begitu rupa, tapi ketika melihat keadaan kaki kiri orang itu
yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinyal Wiro jatuhkan diri sama
rata dengan atap bangunan. Tendangan si jubah biru masih menyapu rambut di
kepalanya. Sebelum sempat orang menarik kakinya Wiro cepat menjotos.
"Bukkk!"
Ki Sentot Balangnipa keluarkan gerung
kesakitan. Tubuh melintir akibat jotosan yang melanda pangkal pahanya.
Tampangnya berubah seperti kepala kuda. Dari bagian atas atap dia gulingkan diri,
berusaha merangkul sosok Pendekar 212. Wiro maklum lawan hendak mengajak jatuh
bersama. Dengan cepatdia membuang diri ke samping kiri sambil tangan kanan
melepas satu pukulan tangan kosong. Ki Sentot Balangnipa kebutkan lengan jubah
sebelah kanan dua kali berturut-turut
Wiro terkejut Kebutan lengan jubah lawan bukan
saja mem-buyarkan pukulan tangan kosongnya tadi tapi dia juga merasakan
tubuhnya laksana didorong sebuah batu besar. Karena kedudukan dua kakinya
berada pada atap yang miring, dia tak mungkin bertahan. Wiro kerahkan tenaga
dalam untuk melindungi diri. Bersamaan dengan itu dia pergunakan ilmu
meringankan tubuh untuk cepat-cepat melompat ke atas.
Ki Sentot Balangnipa berusaha mengejar sambil
melepas serangan tangan kosong mengandalkan tenaga dalam tinggi. Namun dia
tidakmelihat lawan. Sebelum dia mengetahui dimana Wiro berada tiba-tiba
punggungnya dihajar satu tendangan keras. Tak ampun lagi orang ini mencelat
mental, menggelinding di atas atap, terus melayang ke bawah.
Ki Sentot Balangnipa memang tangguh. Walau
punggung cidera berat namun dia masih sanggup membuat gerakan jungkir balik di
udara dan jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu.
Wiro tidak perdulikan lagi orang itu. Dia cepat
merangkak ke atas dan mengintai ke dalam gedung lewat genteng yang terbuka
dimana tadi Ki Sentot Balangnipa melakukan pengintipan.
"Jahanam kurang ajar!" Wiro memaki
goram. Apa yang disaksikan membuat dia marah besar. Di bawah sana, di atas
sebuah ranjang seorang lelaki bertubuh besar tengah menanggalkan pakaian
seorang perempuan muda berkulit sangat putih. Melihat wajah dengan kepala
gundul semula Wiro hampir tidak mengenali perempuan itu. Namun dari wama
pakaian serta sebilah pedang bergagang kepala naga yang terletak di atas meja,
Wiro sadar peiempuan itu bukan lain adalah Nionio Nikouwl
"Aneh. mengapa paderi itu diam
saja?!" Pikir Pendekar 212.
"Pasti ada yang tidak beres! Mungkin dia
telah kena tolok!"
"Braakkk!"
Wiro tendang hancur atap bangunan lalu melesat
turun ke dalam ruangan. Di udara dia berjungkir balik satu kali. Begitu
melayang turun kaki kanannya menendang ganas ke arah kepala Adipati Brebes yang
tengah berbuat mesum terhadap Nionio Nikouw.
Pada saat atap jebol, Adipati Karta Suminta
sadar sesuatu terjadi diluar gedung. Telebih lagi ketika ada sambaran angin di
sampingnya. Secepat kilat Adipati ini jatuhkan diri di atas tubuh Nionio Nikouw
lalu menarik tubuh paderi Itu menggelinding ke lantai. Begitu bangkit berdiri
sosok sang paderi dipergunakan sebagai tameng melindungi diri. Pakaian merahnya
tersingkap lebar di sebelah depan.
"Bangsat gondrong! Siapa kau!" Bentak
Adipati Karta Suminta.
"Manusia bejat! Lepaskan perempuan itu
atau kuhancurkan kepalamu!" Teriak Wiro lalu melangkah cepat mendekati.
"Berhentil Jika berani mendekat kupatahkan
leher paderi ini!"
Adipati Brebes balas mengancam dan saat itu
juga tangan kanannya yang berjari besar mencengkeram batang leher Kiang Loan
Nio Nikouw.
"Aku tidak perduli kau mau apakan paderi
itu! Yang aku Inginkan adalah nyawa busukmu!" Wiro melompat
Termakan ucapan Wiro Adipati Brebes dorong
tubuh sang paderi ke depan. Sebelum tubuh itu tersungkur di lantai Wiro cepat
merangkulnya. Di saat yang sama Adipati Brebes berkelebat ke meja kayu jati di
tengah ruangan, menyambal Pedang Naga Merah dan sekaligus sreet.. Menghunus
senjata milik Nionio Nikouw Ini. Cahaya merah memancar di ruangan itu.
"Kurang ajar..." rutuk Pendekar 212.
Dia cepat memanggul tubuh paderi Nionio. melangkah ke kanan ke arah pintu
ruangan.
"Kalian berdua akan mampus percuma di
tempat ini!" teriak Adipati Brebes marah besar. Sekali melompat pedang di
tangan kanannya menderu dahsyat Wiro cepat menyingkir. Cahaya merah disertai
hawa dingin menggldikan memapas satu jengkal di depan hidung Wiro. Kalau dia
tidak cepat memutar diri sambil bersurut dua langkah, pasti kaki Nionio Nikouw
yang terjuntai akan kena dibabat putus oleh Pedang Naga Merah miliknya sendiri!
"Manusia setan!"
Baru saja Wiro memaki, Adipati Brebes sudah
menyerbu kembali. Cahaya merah bertabur menggidikkan dalam ruangan. Di saat itu
pula tiba-tiba dari atap yang jebol melayang turun satu sosok berpakaian biru
yang bukan lain adalah Ki Sentot Balangnipa.
"Ki Sentot Bantu aku membunuh dua orang
ini!"
"Dua orang ini Adipati?!" Ki Sentot
Balangnipa terkejut "Bukankah-perempuan Cina itu perlu dibiarkan hidup? Si
gondrong jahanam ini yang musti dicincang!"
"Kau benar" ucap Adipati Karta
Suminta seolah baru sadar bahwa dia masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya
atas diri Nionio Nikouw. "Hati-hati Ki Sentot! Jangan sampai gadis itu
terluka Sang Adipati pentang tangan yang memegang pedang lalu menyerbu. Ki
Sentot Balangnipa goyangkan dua bahu, keluarkan suara meringkik seperti kuda.
Saat itu juga tahu-tahu dia sudah memegang
sepasang tali kekang kuda yang merupakan senjata andalannya. Dengan dua senjata
ini dia bisa membelah batu, membabat putus tubuh manusia, juga mampu menjirat
mengikat atau menggantung orang
Wiro melihat bahaya mengancam begitu rupa tidak
mau berlama-lama. Ketika Adipati Brebes menerjang dengan Ang Liong Kiam dan Ki
Sentot Balangnipa menyabatkan dua buah tali kekang yang jadi senjatanya,
Pendekar 212 Wiro Sableng segera angkat tangan kanan. Begitu tangan memancarkan
cahaya perak menyilaukan Wiro memu kul ke arah Adipati Karta Suminta.
"Pukulan Sinar Matahari Adipati lekas
menyingkir!" teriak Ki Sentot Balangnipa yang telah sering mendengar
kehebatan ilmu pukulan sakti itu. Habis berteriak dia cepat-cepat jatuhkan diri
ke lantai dan berguling menjauh, berlindung dibalik ranjang besar.
"Wuss!"
Cahaya putih berkiblat Hawa panas menghampar.
Adipati Karta Suminta menjerit keras. Tubuhnya
terpental ke dinding. Sesaat tubuh itu seolah menempel lalu jatuh ke lantai
dalam keadaan gosong hitam, mengepul bau sangit daging terpanggang!
Asap tebal memenuhi ruangan.
Di luar terdengar suara banyak orang berlarian
mendatangi para pengawal. Dari atas genteng ada seorang melompat turun Pasti
seorang yang punya kepandaian tinggi.
Ki Sentot Balangnipa walau sebagian jubah
birunya hangus masih untung tidak mengalami cidera. Hanya matanya terasa perih
dan nafas menyesak. Didahului suara meringkik keras dia hantamkan dua tali
kekang kuda ke tengah mangan dimana tadi Wiro berada. Namun saat itu Pendekar
212 sudah lenyap dari ruangan itu. Pintu kamar tampak hancur berantakan!"
"Pengawal jangan biarkan bangsat gondomg
itu kaburi Kejar!" teriak Ki Sentot Balangnipa.******Wiro menambahkan
beberapa potong kayu kering di atas Onggok perapian yang hampir padam. Goa
dimana dia berada kembali menjadi terang benderang. Wiro menatap sosok paderi
Nionio yang sampai saatitu masih terbaring tak sadarkan diri. Wajah cantik
dengan kepala gundul. Sang pendekar jadi tersenyum sendiri. Dia tidak pernah
menduga kalau Nionio Nikouw berkepala gundul.Meski tanpa rambut namun
kecantikan Nionio Nikouw tetap memukau.
"Aneh rasanya, lucu, ada perempuan cantik
berkepala botak. Baru sekali ini aku melihat" Sambil senyum-senyum Wiro
usap-usap kepala gundul sang paderi. Tidak sampai disitu, dasar jahil dia
dekatkan mulurnya ke kepala Nionio Nikouw lalu menjilat kepala botak itu!"
Weehh, asin!" Wiro tertawa sendiri. Sebelumnya Wiro telah memeriksa
keadaan diri paderi itu. Tak ada tanda-tanda bekas totokan di tubuh Nionio
Nikouw. Dari bibirnya yang agak kebiruan Wiro menduga Nionio Nikouw tak
sadarkan diri akibat keracunan.
"Pasti ini pekerjaan Adipati keparat
itu..." kata Wiro dalam hati. Karena itu dia segera menotok beberapa jalan
darah di tubuh Nionio Nikouw agar racun tidak tembus ke dalam jantung dan masuk
ke otak. Sampai menjelang pagi paderi itu masih belum sadar. Wiro jadi gelisah.
Tiba-tiba dia ingat pada Kitab Seribu Pengobatan yang ada daiam sebuah kantong
kain dan disimpan di balik pakaiannya. Wiro segera hendak mengeluarkan kitab
itu untuk mencari tahu cara pengobatan yang bisa dilakukan guna menolong Nionio
Nikouw.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul "Api Di Puncak Merapi"' dengan bantuan mahluk
alam gaib yang diberinya nama Purnama, kitab tersebut berhasil didapatkan Wiro.
Dalam kisah ini sebenarnya Wiro dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede
untuk menyimpan kitab tersebut di satu tempat yang aman karena seperti
diketahui pondok kedamaian Sinto Gendeng telah roboh berentakan sewaktu terjadi
perkelahian antara si nenek dengan Tua Gila. Kemudian Sinto Gendeng
menghancurkan sendiri pondok itu hingga musnah sama rata dengan tanah. (Baca
serial Wiro Sableng dalam Episode "Nyi Bodong")
Belum sempat Wiro mengeluarkan Kitab Seribu
Pengobatan tiba-tiba dia melihat kaki kiri Nionio Nikouw bergerak. Wiro cepat
simpan Kitab Seribu Pengobatan ke balik pakaian. Dia pegang urat besar di atas
tumit kiri sang paderi. Terasa hangat tanda jalan darahnya mulai lancar. Wiro
lalu alirkan hawa sakti ke dalam tubuh Nionio Nikouw lewat pegangan pada
pergelangan tangan kanan. Sesaat kemudian keluar suara mendesah halus dan mulut
Nionio Nikouw. Menyusul perlahan-lahan membukanya kedua matanya.
"Saudara Wio..." Kata-kata itu
terucap sambil mata menatap sayu Pendekar 212. Lalu Nionio Nikouw perhatikan
tangannya yang dipegang Wiro. Kemudian melirik ke atas, memandang ke kiri dan
ke kanan lalu menatap ke arah perapian dan akhirnya kembali memandang Wiro.
"Saudara Wie, kita berada dimana? Paderi itu tarik tangannya yang dipegang
Wiro. Ketika dia memperhatikan dirinya kejutnya bukan olah-olah. Wajahnya mendadak
sontak menjadi bersurut menjadi merah. Nionio Nikouw serta meria bangun dan
duduk lalu tersurut menjauhi Wiro sampai punggungnya menyentuh dinding goa.
"Saudara Wie, apa yang terjadi? Apa yang
kau lakukan terhadapku?! tanya Loan Nio Nikouw. Tangan kiri menutup dada
pakaian yang tersingkap, tangan kanan meraba ke punggung.
Karena Wiro tak segera menjawab paderi
perempuan itu bangkit berdiri. Sepasang matanya membesar, memandang tak
berkesip ke arah Wiro.
"Dimana pedangku?!"
Tiba-tiba ada seseorang m uncul di mulut goa.
Orang yang datang ini keluarkan ucapan.
"Loan Nio. bangsat berambut gondrong ini
barusan hendak memperkosamu. Untung aku datang. Dia pula yang telah mencuri
Pedang Naga Merah milikmu. Senjata itu disembunyikannya di satu tempat Kau
saksikan sendiri apa yang telah dilakukannya terhadapku!"
Orang yang bicara melangkah masuk sehingga
wajah dan sosoknya kelihatan jelas diterangi nyala perapian.
Kiang Loan Nio Nikouw menjerit keras. Wiro
tidak tahu apa yang diucapkan orang di mulut goa karena dia berkata dalam
bahasa Cina. Namun melihat keadaan sang paderi yang mendadak tampak marah besar
seperti mau menerkamnya Wiro yakin orang di mulut goa telah mengatakan sesuatu
yang dahsyat! Tanpa berpaling, dari suaranya saja Wiro sudah mengenali. Orang
itu bukan lain adalah LiokOng Cun.
"Saudara Wie! Benar... benar?!"
"Benar apa Nionio?"
"Kau hendak memperkosaku! Kau mencuri
Pedang Naga Merah!"
"Nionio, aku belum gila melakukan hal
bejat itul Pasti bangsat muka tengkorak ini mengarang cerita mengumbar mulut
fitnah! dia hendak menarik perhatianmu!
"Loan Nio, apapun yang dikatakannya jangan
percayai Demi cintaku padamu aku akan membunuhnya saat ini juga! Apakah kau
tidak akan membantuku menghajar orang yang hendak mencelakai dirimu ini?!"
Liok Ong Cun cepat keluarkan ucapan karena merasa orang tengah berusaha membela
diri.
Selesai berucap Liok Ong Cun cabut pedangnya.
Loan Nio Nikouw meraba ke pinggang, mencari
suling perak. Tapi benda itu tak berhasil ditemukan. Dia mengusap muka meraba
kepala dan jadi terpekik ketika menyadari bahwa topi sekaligus cadar yang
menutupi kepala serta wajahnya tak ada lagi! Dengan cepat paderi ini robek
ujung bawah kiri kanan pakaian merahnya. Robekan kain yang cukup lebar Ini
dijadikannya destar penutup kepala serta cadar pelindung wajah. Dengan mata
menyorot Loan Nio Nikouw memandang ke arah Pendekar 212.
"Saudara Wie. aku tidak menyangka begitu
bejat budi pekertimu! Aku mengira kau seorang sahabat yang bisa dimintai
tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!"
"Nionio, dengar dulu keteranganku..."
ucap Wiro.
"Aku tak butuh keterangan. Aku ingin
membunuhmu saat ini juga!" Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu menerjang.
Walau cuma mengandalkan tangan kosong namun dengan ilmunya yang tinggi dua
tangan bisa seganas senjata tajam atau pentungan besi!
"Celaka Kenapa bisa jadi begini?!"
ucap Pendekar 212 Dia cepat rundukkan kepala. Pukulan Loan Nio Nikouw
menghantam dinding goa. Dinding berupa batu keras itu hancur, bolong besari
"Gila!" Wiro kembali memaki. Sementara dari kanan Liok Ong Cun putar
tangannya yang memegang pedang.
"Wuttt!" Pedang Ular Hijau menyambar.
Cahaya hijau berkiblat Wiro jatuhkan diri ke lantai goa sambil dua tangannya
menyambar dua kayu perapian. Kayu di tangan kiri dilempar ke arah Nionio Nikouw
hingga paderi perempuan ini terpaksa tahan serangan yang hendak dilancarkannya.
Walau cuma kayu tapi karena dialiri tenaga dalam, setelah tidak mengenai
sasaran kayu itu menancap di dinding goa. Dengan kayu berapi di tangan kanan
Wiro kemudian menyerang Liok Ong Cun. Pendekat dari Tionggoan ini mendengus.
Sekali pedangnya membabat kayu api di tangan Wiro buntung.
"Kalau tidak kuhabisi manusia satu ini
bisa membuat urusan panjang tak karuan di kemudian hari!" Berpikir sampai
di situ Wiro siap melepas Pukulan Sinar Malahan. Namun entah mengapa dia
mengganti dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dia kerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Angin dahsyat menggebu-gebu.
Liok Ong Cun berteriak marah ketika melihat
serangannya menjadi buyar. Sambil membolang balingkan pedang membentengi diri
dia melompatmeneijang Wiro. Wiro sambut dengan dorongkan tangan kanan.
"Wusss!"
Liok Ong Cun terjengkang di tanah Pedang Ular
hijau nyaris terlepas. Wiro melompat di atas tubuhnya, melesat keluar goa. Uok
Ong Cun berusaha membabat kaki Wiro namun dadanya keburu sesak. Lalu pemuda
Tionggoan ini semburkan darah kental. Dia termasuk hebat Orang lain yang
terkena hantaman pukulan Benteng Topan Melanda Samudera berkekuatan tenaga
dalam penuh pasti sudah remuk sekujur tubuhnya.
"Manusia pengecut! Kau bisa lari sekarang!
Aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia!" teriak Kiang Loan Nio Nikouw.
"Paderi Nionio! Jangan menuduh aku
pengecut!" Di kegelapan malam diluar goa terdengar suara Wiro menyahuti
teriakan sang paderi. "Aku terpaksa pergi karena kau lebih percaya pada
pemuda busuk muka tengkorak itu dari pada diriku! Jika kau ingin tahu apa yang
terjadi pergilah menyelidik ke Gedung Kadipaten Brebes! Aku telah membunuh
Adipati Karta Suminta demi menyelamatkan dirimu dari perbuatan kejinya!"
"Dusta!" teriak Loan Nio Nikouw.
Dalam keadaan masih marah dia berkelebat hendak mengejar. Tapi Liok Ong Cun
mencegah.
"Manusia satu itu sangat berbahaya.
Biarkan dia pergi: Oia tidak akan iolos dari tanganku. Demi dirimu aku
bersumpah akan menabas lehemyal Loan Nio, mungkin ini saatyang baik bagi kita
untuk bicara"
Mengingat dan merasa orang telah menolong
dirinya, walaupun tidak suka pada pemuda itu namun akhirnya Loan Nio Nikouw
masuk kembali ke dalam goa dan duduk di lantai.
"Ong Cun, ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi di tempat ini. Tapi tunggu..." Sang paderi perhatikan wajah Liok
Ong Cun yang masih ada noda-noda darah di bagian bawah hidung dan sekitar
bibir. "Aku melihatnodadarah di wajahmu. Suaramu sengau seperti ada yang
mengganjal di hidungmu. Sesuatu terjadi atas dirimu sebelum kau berada di
tempat ini..."
Liok Ong Cun jatuhkan diri ke lantai goa, duduk
bersimpuh lalu mengarang cerita.6LOAN NIO," Liok Ong Cun mulai dengan
kebohongannya. "Kau tahu bagaimana besarnya cintaku padamu. Sampai-sampai
aku rela bunuh diri bahkan diluar sadarku aku bicara kasar padamu. Bukan itu
saja, aku sampai ingin mati berdua bersamamu. Untuk semua itu aku
sangatmenyesal dan mohon maafmu. Aku tahu kau sudi dan mau memaafkan
diriku..." ‘Teruskan bicaramu. Yang sudah berlalu aku tidak keliwat
memikir. Yang aku ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Benar pemuda
berambut gondrong itu hendak merusak kehormatanku?" "Kau mungkin
tidak percaya. Lihat wajahku Loan Nio. Bibirku pecah, tulang hidung patah. Aku
menderita luka di dalam. Itu yang telah terjadi dengan diriku sebelum memergoki
manusia keparat itu melakukan perbuatan keji atas dirimu di goa ini. Sejak
peristiwa di telaga, aku selalu memata-matainya. Bukankah aku pernah
mengeluarkan ucapan akan membunuh siapa saja lelaki yang berani mendekatimu?
Malam tadi aku mencegatnya di satu tempat Dia langsung menyerangku. Aku harus
mengakui dia memiliki ilmu silat dan kesaktian sangat tinggi. Ilmu pedangku
tidak berdaya. Kekuatan tenaga dalam dan hawa saktiku tidak mampu
menandinginya. Aku dihajar begini rupa. Tidak apa. Cepat atau lambat dia akan
menerima balasan dariku! Selain itu dia berkelahi secara licik. Oia menghajarku
lalu kabur begitu saja. Ada satu hal yang membuatku sangat sakithati. Kau tahu
apa yang dikatakannya sebelum pergi?"
"Mana aku tahu. Memangnya dia bicara
apa?" tanya Loan Nio Nikouw pula.
"Katanya aku tak bakal mendapatkan dirimu
karena kau telah tergila-gila padanya. Kau akan menjadi miliknya. Kalau sudah
dapat kau akan ditelantarkan lalu ditinggalkanl Dia akan mempermainkan dirimu
secara kejil Dia berkata aku tidak akan mendapatkan dirimu sebagai seorang
gadis utuh karena dia akan menodai dirimu lebih dulu. Aku akan mendapat
sisanya!"
"Kurang ajar sekali!" Loan Nio Nikouw
jadi terbakar amarahnya. "Tidak ada seorangpun lelaki yang bisa
mem-perlakukan aku seperti itu." Sang paderi menatap wajah tengkorak
pemuda di hadapannya beberapa lama. Membuat Liok Ong Cun merasa tidak enak.
"Ong Cun, aku percaya pada ceritamu tentang perkelahianmu dengan pemuda
itu. Namun aku merasa heran. Setahuku kau tidak mengerti bahasa orang disini.
Bagaimana kau tahu semua kata-kata yang diucapkan pemuda itu lalu
menceritakannya padaku?"
Di balik topeng wajah LiokOng Cun menjadi
sangat merah. Dia tampak salah tingkah tapi masih bisa berdalih.
"Aku memang tidak mengerti bahasa yang
diucapkannya. Tapi dari gerak gerik serta sikapnya aku tahu apa yang
dibicarakannya."
"Kau hebat sekali. Aku tidak tahu kau
punya kepandaian mengartikan ucapan orang dari gerak geriknya." kata Loan
Nio Nikouw sambil tersenyum, entah memuji entah mengejek.
"Selama aku masih hidup, dia tidak bakal
dapat mencelakai dirimu. Aku bersumpah akan melindungimu setiap saat"
Loan Nio Nikouw tidak perduli ucapan Ong Cun.
Selain itu, melihat bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng telah menggebuk pemuda
muka tengkorak ini, jelas Ong Cun terlalu takabur.
"Ong Cun, bagaimana kejadiannya kau sampai
di goa in dan memergoki pemuda itu hendak menodai diriku?" tanya Loan Nio
Nikouw. "Setelah aku dipecundangi secara licik aku bertekad menuntut
balas. Begitu dia pergi aku mencari jejaknya. Aku berhasil menemui pemuda
terkutuk itu di goa ini. Tapi pada saat dia hendak merusak kehormatanmu..."
"Ong Cun, ketahuilah. Malam ini aku dan
pemuda itu sebenarnya telah berjanji akan bertemu di depan gedung kediaman
Adipati Brebes. Aku minta dia menemaniku menghadapi Adipati. Dia tidak muncul
dalam waktu yang dijanjikan. Sekarang aku tahu. Dia tidak datang memenuhi janji
karena berkelahi denganmu."
"Loan Nio, sungguh aku tak menduga kau
mempercayai musang berbulu ayam itu! Kenyataannya kau lihat sendiri apa yang
sekarang terjadi. Mengapa kau mau-maunya membuat janji dengan pemuda terkutuk
itu..."
Aku hanya menurut petunjuk Wakil Ketua Siauw
Lim. Jika sampai di negeri ini harus mencarinya untuk dimintai tolong
Sebelumnya aku sama sekali tidak menaruh curiga padanya Tapi jika dia memang
orang jahat aku bisa saja berubah pikiran."
"Loan Nio, kau bukan cuma harus berubah
pikiran. Tapi harus menjauhi pemuda itu! Bahkan tidak salah kalau kau
membunuhnya! Wakil Ketua tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu. Dia jauh di
Tionggoan sana. Apa yang dia tahu tentang' orang-orang di sini. Kau harus
berhati-hati Loan Nio. Mulai sekarang kemana-mana kita harus bersama-sama. Aku
punya tanggung jawab menjaga keselamatanmu."
Loan Nio Nikouw terdiam beberapa lama. Kemudian
dia berucap. "Aku masih tidak mengerti mengapa aku bisa berada dalam goa
ini. Pada hal seingatku saat itu aku berada di gedung Adipati di Brebes.
"Loan Nio, nada bicaramu seperti membela
pemuda itu. Ketika aku sampai di goa ini, aku memergoki pemuda itu tengah
menanggalkan pakaianmu. Aku langsung menyerangnya dengan pukulan Lima Kuku
Akhirat Apa kau tidak melihat punggung pakaiannya yang robek dan lima guratan
luka pada kulit tubuhnya?!"
"Aku memang melihat.." jawab Loan Nio
Nikouw. Namun dalam hati dia berkata "Jka kau memang memergoki, mengapa
susah-susah mengeluarkan Ilmu Lima Kuku Akhirat segala. Bukankah kau membekal
pedang sakti? Mengapa tidak langsung membacok kepalanya dengan Pedang Ular
Hijau? Sekali bacok kepala pemuda itu pasti terbelahl Apa lagi kau menyerang
dari belakang."
Dari luka guratan di punggung Wiro, Loan Nio
Nikouw bisa menduga kalau Liok Ong Cun menyerang pemuda itu dari arah belakang.
"Seharusnya racun kuku jariku sudah
membuat dia mampus saat ini. Tapi entah itmu kebal setan apa yang dimilikinya
hingga dia sanggup bertahan, tidak menemui ajal!"
"Ong Cun... Jika pemuda itu hendak memperkosaku
di tempat ini, bagaimana kejadiannya topiku tak ada di sini. Juga kain putih
penutup bagian dalam dadaku tidak kutemui. Selendang ikat pinggangku lenyap.
Lalu papan seluncurku juga hilang."
"Loan Nio, aku menduga pemuda itu
sebelumnya hendak merusak kehormatanmu di tempat lain. Namun kemudian dia
memutuskan membawamu ke goa ini. Mungkin di sini lebih aman. Mungkin juga topi
dan kain penutup dadamu serta selendang jatuh di tengah jalan. Loan Nio, aku
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang hendak dilakukannya. Apakah
kau tidak mempercayai diriku?"
Loan Nio Nikouw bukannya menjawab malah
bertanya. "Pedang Naga Merah milikku apa juga jatuh di jalan?"
"Pasti dia yang telah mencurinya! Senjata
itu agaknya disembunyikan di satu tempat" Ong Cun menatap wajah paderi
cantik di hadapannya lalu berkata. "Loan Nio, air mukamu menunjukkan kau
tidak mempercayai keteranganku. Apa yang diteriakkan pemuda itu tadi padamu
sebelum kabur?"
"Ong Cun, aku percaya padamu. Namun ada
beberapa kejadian yang membingungkan..."
"Kau hendak diperkosa orang yang kau
sangka baik. Tentu saja kau jadi bingung. Loan Nio."
"Bukan, bukan Itu maksudku" jawab
Loan Nio Nikouw. "Sebelumnya aku masuk seorang diri ke dalam Gedung
Kadipaten. Aku bertemu dengan Adipati Karta Suminta. Dia pejabat tinggi dan
penguasa di daerah ini. Kami bicara lalu aku tak ingat lagi. Sesuatu pasti
terjadi atas diriku. Adipati itu menyuguhkan sejenis minuman..."
Berarti pemuda jahat itu menghadangmu setelah
kau keluar dari Gedung Kadipaten. Ketika kau lengah bisa saja dia menotokmu.
Aku tidakyakin seorang pejabat mau berbuat keji terhadap dirimu. Atau bisa saja
begini. Pemuda itu berkomplot dengan Adipati untuk mencelakaimu. Lalu membawamu
ke goa ini dan mengaku justru dia yang menyelamatkan dirimu. Maksudnya jelas
agar kau merasa berhutang budi dan kehormatan lalu pasrah menyerahkan diri
padanya!"
Loan Nio Nikouw terdiam.
"Satu bukti lagi bahwa pemuda itu orang
jahat, mengapa dia melarikan diri begitu saja? Dia takut belangnya akan
ketahuan. Selain itu dia merasa tak sanggup menghadapi kita berdua. Aku tadi
mengadu nyawa untukmenyeiamatkan dirimu. Sampai saat ini agaknya kau masih
lebih mempercayai dia dari pada diriku. Aku benar-benar merasa kecewa, Loan
Nio. Loan Nio, dengar. Jika sekali lagi aku berhadapan dengan pemuda itu aku
akan mengeluarkan ilmu Manusia Bangkai. Aku dendam sampai mati pada pemuda
keparat satu ibu. Kau tahu, sebelum kabur dia mengencingi mukaku!"
Wajah Loan Nio Nikouw berubah. Kejutnya bukan
alang kepalang. Bukan karena cerita Ong Cun bahwa mukanya telah dikencingi
Wiro. Melainkan karena mendengar ilmu yang disebut pemuda bertopeng muka
tengkorak itu. Ilmu Manusia Bangkai adalah satu ilmu setengah sihir yang sangat
berbahaya. Ilmu ini dimiliki oleh seorang tokoh sesat dari Gobi Pay berjuluk
Pak San Kwi Ong yang berarti Raja Setan Gunung Utara. Orang yang memiliki ilmu
ini tubuhnya akan berubah menjadi bangkai hidup berbau busuk luar biasa. Siapa
saja lawan yang terkena sentuhannya, bagian tubuhnya akan membusuk. Dalam waktu
beberapa hari kebusukan itu akan menjalar ke seluruh tubuh sampai ke kepala dan
kaki. Tak ada yang sanggup menyembuhkan. Berarti jangan harap korban bisa
bertahan hidup.
"Aku tidak pernah mendengar kabar kapan
pemuda ini mempelajari ilmu sesat itu. Pasti setelah aku meninggalkan Siauw Lim
beberapa waktu lalu. Turut kabar yang aku dengar Pak San Kwi Ong punya kelainan
badaniah. Dia hanya bernafsu pada sesama jenis. Apa Ong Cun telah menyerahkan
dirinya untuk mendapatkan ilmu itu? Mengerikan, menjijikanl Dan manusia macam
ini yang minta nikah dengankul Semoga Thian menjauhkan aku darinya."
(Thian=Tuhan).
Perlahan-lahan Loan Nio Nikouw bangkit berdiri.
Banyak hal yang membuat pikirannya kacau. Banyak ha! yang harus segera
dilakukannya.
"Loan Nio, kau mau kemana?" tanya
LiokOng Cun.
"Urusanku di Gedung Kadipaten belum
selesai. Aku akan kembali ke sana..."
"Kau barusan saja menemui bahaya. Hampir
celaka. Dan sekarang berkata hendak kembali ke Kadipaten. Lebih baik kita
sama-sama tinggalkan tempat ini. Loan Nio, tak ada yang lebih baik dari pada
kembali ke Tionggoan. Kita menikah di sana."
Manusia satu ini benar-benar keras
kepala," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia berucap. "Kau
mungkin lupa. Aku pernah menerangkan ada tugas yang harus aku laksanakan dari
Wakil Ketua Siauw Lim. Aku akan pulang bila semua tugasku selesai..... (lanjutkan
membaca setelah login gratis di sini )